Minggu, 21 Desember 2008

IBU, BETAPA AKU AMAT SAYANG KEPADAMU

Seorang ibu berkata, “apa mungkin anak saya sudah meninggal, karena tidak pernah datang ke panti jompo menengok saya.” Ini bukan cuplikan cerpen. Pernyataan di atas dikemukakan oleh peragawati senior Ratih Sang ketika suatu saat ia datang ke sebuah panti jompo untuk suatu acara amal.”Dia tampak kesepian. Di hari tuanya, dia seperti dijauhkan dari keluarga.”ujarnya.

Apa yang diceritakan Ratih adalah fenomena masa kini. Keluarga modern yang tidak ingin “direpotkan” manula dalam keluarga mereka –sebagian menerjemahkannya sebagai bentuk sayang yang lain pada manula – mereka mengirimkan orang tua mereka yang sudah lanjut usia ke panti jompo.

Tidak ada yang salah dengan langkah ini. Namun alangkah baiknya juga orang tua manula ada di tengah kita. Bukankah ini kesempatan emas untuk berbuat baik kepada orang yang sudah berjuang untuk kita, sebelum akhirnya usia mereka habis dan ajal datang menjemput?

Menghormat kepada orang tua terutama kepada ibu kita adalah perintah agama. Dalam Al-Qur’an surat Luqman (31) ayat 14 Allah SWT berfirman,”Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.”

Dalam surat yang lain Allah SWT menegaskan,”Dan Tuhanmu memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau keduanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (QS Al Isra [17] :23)

Penghormatan pada ibu kita ditegaskan oleh Rasulullah SAW dalam salah satu hadisnya, ketika seorang sahabat bertanya “Ya Rasulullah siapa yang paling berhak memperoleh pelayanan dan persahabatanku?” Nabi SAW menjawab, ”Ibumu...,Ibumu...,Ibumu...,kemudian ayahmu, dan kemudian yang lebih dekat kepadamu, dan yang lebih dekat kepadamu.” (HR mutafaqun alaih).

Mari kita belajar tentang bagaimana menghormati dan menyayangi seorang Ibu dari kisah seseorang, yang merupakan kenalan saya, sebut saja namanya Lukman. Lukman merupakan anak sulung dari lima bersaudara.

Suatu ketika Ibu nya Lukman, yang sudah menjanda, menderita sakit keras, yang memerlukan perawatan intensif dan harus menjalani operasi besar. Dokter menganalisa bahwa penyakit yang diderita oleh Ibunya Lukman sudah diidap selama bertahun-tahun, yang selama ini tidak dirasa-rasa oleh si Ibu. Mungkin mengingat kondisinya yang sudah menjanda dan tidak ingin merepotkan anak-anaknya.

Tetapi penyakit yang sudah bertambah akut tidak bisa ditutup-tutupi lagi. Ketika sang Ibu jatuh pingsan dan dibawa ke rumah sakit, barulah ketahuan oleh anak-anaknya, bahwa sang Ibu sudah menderita sakit sejak lama. Dan untuk mengobati sakit itu tidak lagi hanya sekedar berobat jalan dan minum obat tetapi memerlukan tindakan operasi besar yang tentunya juga memerlukan biaya yang besar. Demikian yang dijelaskan dokter ketika bertemu dengan adik-adiknya Lukman.

Berembuglah lima orang bersaudara ini mencari cara bagaimana agar sang Ibu bisa dioperasi sekaligus pembiayaannya. Lima bersaudara ini, tiga laki-laki termasuk Lukman, dan dua perempuan semuanya sudah berkeluarga dan berpenghasilan baik, kecuali Lukman. Lukman yang merupakan anak sulung, bukan sarjana seperti adik-adiknya yang lain, tetapi belum beruntung memiliki pekerjaan yang baik. Konon Lukman memilih untuk tidak meneruskan kuliah dan mulai membantu Ibunya berusaha untuk bisa menyekolahkan adik-adiknya, sepninggal ayahnya. Pekerjaan Lukman bahkan boleh dibilang serabutan. Kalau sedang ada order baru Lukman dapat penghasilan. Pekerjaan Lukman sebagai teknisi komputer bekerjasama dengan temannya membuka usaha sendiri.

Dalam rapat keluarga ini Lukman hanya tertunduk. Lemas rasanya sendi ini kalau sudah menyinggung masalah pembiayaan. Lukman sebagai anak sulung, yang memang paling disayang oleh ibunya, tentu saja ingin membanntu. Tetapi keadaan tidak memungkinkan. Selama ini, setelah menikah, Lukman beserta istri dan kedua anaknya memang tinggal serumah dengan ibunya. Ibunya yang memang meminta Lukman untuk tetap tinggal dengannya, alasannya sih biar ada yang menemani.

Pada pertemuan-pertemuan keluarga ini memang adik-adiknya tidak menyinggung tentang kesanggupan Lukman untuk patungan. Mereka memahami kondisi Lukman yang memang belum punya kemampuan. Tetapi Lukman merasa bahwa setiap kali bertemu dengan adik-adiknya ada “hawa” tertentu yang dirasakan oleh Lukman, persis seperti orang lagi meriang. Bawaannya tidak enak saja kalau berjumpa dengan adik-adiknya. Rasanya pingin menghindar saja. Lukman sendiri selama Ibunya dirawat menemani siang malam. Dalam pikirannya biarlah kalau saya tidak sanggup menyumbang patungan biaya, saya menyumbang tenaga saja. Tidak putus-putusnya Lukman berdoa setiap selesai shalat wajib dan dalam setiap tahajudnya. Dia berdoa untuk kesembuhan Ibunya dan juga agar Allah memberikan petunjuk baginya agar bisa membantu meringankan pembiayaan pengobatan Ibunya.

Pada hari ketujuh Ibunya dirawat, selepas shalat Jum’at di Masjid di dalam wilayah Rumah sakit, Lukman seperti mendapat ilham, dia menawarkan kepada sesama Jamaah Shalat untuk dipijat, padahal selama ini Lukman tidak pernah memijat. “Bismillah aja dah, kali aja Allah Ridho.” Begitu pikirnya. Selesai memijat sekitar 10 menit, ditanyalah oleh orang yang dipijat,”berapa ongkosnya Pak?” Lukman menjawab,”Nggak usah pak, nggak usah bayar, saya ikhlas, doain aja biar Ibu saya cepet sembuh dari sakitnya, yang kebetulan dirawat disini.” Begitu yang dilakukan oleh Lukman selama tujuh hari setiap habis Shalat berjamaah di Masjid. Sudah tidak terhitung olehnya berapa orang yang sudah merasakan jasa pijatan gratisnya.

Tepat setelah tujuh hari itu kemudian, sehabis Shalat Jum’at, dokter menyatakan bahwa Ibunya sudah sembuh setelah dioperasi, lebih cepat dari perkiraan dokter sebelumnya. Dan ketika seorang adiknya mengurus administrasi pembayaran, apa yang terjadi, Subhanallah..., ternyata biaya pengobatan termasuk biaya operasinya sudah ada yang melunasi. Tentu saja Lukman dengan adik-adiknya terkaget-kaget semua, Siapa tuh orang yang sudah melunasi. Dicari tahulah oleh mereka. Ternyata yang melunasi adalah salah seorang dokter di rumah sakit tersebut, yang pernah dipijat oleh Lukman. Dokter ini merasa terharu oleh sikap Lukman yang bersedia membantu memijat orang-orang yang dia tidak kenal, jamaah shalat di Masjid rumah sakit, tanpa bersedia menerima imbalan, hanya minta tolong didoakan agar Ibunya cepat sembuh. Sungguh anak yang baik hati dan berbudi baik serta berbakti kepada orang tua Lukman ini dalam pikiran si Dokter.

Rupanya doa Lukman dan doa puluhan orang yang pernah dipijat Lukman lah yang membuat Ibu nya Lukman cepat sembuh dan ada yang melunasi biaya perawatannya. Wallahu Alam.

Di rumah setelah kepulangan Ibunya dari Rumah sakit, sehabis shalat tahajud, Lukman membaca Al-Qur’an, yang tanpa disadarinya dibacanya surat At Thalaq ayat 2 sampai 3, “...wa man yattaqillaaha yaj allahu makhroja, wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib, wa man yattawakkal ‘alallaahi fahuwa hasbuh...”

Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya DIA akan membukakan jalan keluar baginya. Dan DIA memberi rezeki dari arah yang tidak disangka-sangkanya. Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi (keperluan) nya.”

Bercucuran air mata Lukman membaca Ayat ini di atas sajadah.

Rabu, 17 Desember 2008

Pada acara bedah buku di Masjid Al-Muhajirin Billy Moon Pd Kelapa (kebetulan saya yang menyelengarakan), buku yang dibedah berjudul "The Power of Akhlak, Menjadi Kesayangan Allah", yang ditulis oleh Ustadz Bobby Herwibowo LC dan Ustadz Ahmad Hadi Yasin MA, diungkapkan bahwa salah satu upaya menjadi kesayangan Allah adalah dengan memberikan yang terbaik untuk Allah. Berikut yang disampaikan oleh Ust. Bobby

Seorang pria asal Malang Jawa Timur pada tahun 1994 terbersit untuk berangkat haji. Dialah Muhammad Kasim, bukan nama asli. Meski dia tahu bahwa dirinya bukanlah orang yang berada. Dengan rezeki seadanya, ia hidupi istri dan anak-anaknya dengan cara memborong bangunan. Tahun itu, Kasim baru saja memiliki modal yang cukup. Tapi entah mengapa, Allah mengilhami kerinduan untuk datang ke Baitullah dalam hatinya.

Uang yang biasa ia pakai modal untuk memborong bangunan pun ia setorkan ke bank sebagai Ongkos Naik Haji (ONH). Kasim adalah manusia kesekian yang melakukan hal yang sama seperti jutaan jemaah haji lainnya. Mereka berniat berjumpa dengan Allah Swt tanpa perhitungan keduniawian sama sekali. Mereka mencoba untuk datang menghadap Allah Swt dengan memberikan hal terbaik yang pernah mereka miliki.

Subhanallah! Langkah Kasim menuju rumah-Nya mendapat kemudahan. Ia pun berangkat di tahun yang sama. Sesampainya di sana, ia melakukan ibadah dengan khusyuk dan nikmat. Belum pernah ia merasakan hal seperti itu sebelumnya! Bahkan karena terlalu khusyuk, ia tidak resah meninggalkan keluarganya tanpa bekal, bahkan ia tidak pernah mengingat usahanya yang kini sudah tiada lagi bermodal. Semua uang yang ia miliki, seluruhnya telah ia habiskan untuk datang menghadap Tuhannya. Kenikmatan ibadah itu pun terus berlangsung, dan Kasim larut dalam lautan cinta Tuhannya.

Hingga, saat perpisahan dengan rumah Allah Swt pun tiba. Dalam tawaf wada’ yang ia lakukan, air mata Kasim mengalir deras. Perasaannya hanyut dan hatinya hancur tak kuat meninggalkan rumah tersuci itu. Di depan Multazam , sambil mengangkat tangan seraya berdoa... Dengan air mata yang jatuh menetes di pipi... Suara tersengguk dengan isak tangis itu pun terdengar dari mulutnya:

Ya Allah.... Kini tiba waktu perpisahan diriku dengan rumah-Mu. Berilah aku kesempatan untuk dapat mengunjunginya lagi, bila itu tak terwujud, maka janjikanlah padaku surga sebagai ganti.
Allah...., tak tahu apa yang dapat aku berikan kepada-Mu... Namun sesampainya di rumah, aku akan berikan 1000 hariku di jalan-Mu, dan aku tidak berharap pamrih dari manusia. Aku ingin memberi yang terbaik untuk-Mu, ya Rabbi!

Entah apa yang merasuki benak Kasim? Ia sendiri tidak mengerti mengapa ia berucap sedemikian. Namun ia merasakan sebuah cinta yang terdalam. Begitu membekas dan memberi cahaya dalam hatinya. Kasim mengerti bahwa inilah yang disebut sebagai cinta sejati.

Kasim pun pulang ke tanah air. Sepanjang jalan menuju rumah kediaman, baru muncul kembali di benaknya gambaran istri dan anak-anaknya. Tak lupa setan pun memunculkan kembali kekhawatiran akan usaha yang tidak mungkin lagi berjalan sebab modal yang telah habis. Namun, Kasim masih tetap tenang. Tetap tersenyum sebab ia telah mendapatkan cinta Tuhannya.

Siapa yang memberikan hal terbaik kepada Allah Swt, maka Dia Swt akan membalas dengan hal terbaik yang Dia miliki!

Kasim tiba di rumah. Itu adalah hari pertama nazarnya kepada Allah Swt. Banyak sanak keluarga yang berdatangan, tak lupa juga para tetangga. Semua datang untuk bersilaturrahmi kepada Kasim yang baru pulang dari tanah suci.
Semua bahagia tatkala mendapat oleh-oleh dan hadiah dari Kasim. Tiba giliran seorang tetangga yang datang berjalan dengan kaki kanan terseret. Kasim menatap tajam ke arah kaki tersebut. Setelah tetangga itu duduk mendekat ke arah Kasim, baru ia ketahui bahwa tetanggaya baru saja terkena stroke.

Kasim merasa kasihan. Saat ia tinggalkan kampungnya, tetangga ini masih sehat-sehat saja. Namun kini ia dapati, tetangganya telah terserang stoke dan sulit untuk bergerak.

Entah apa yang menggerakkan tangan Kasim..., tiba-tiba tangan Kasim bergerak ke arah kaki tetangganya. Kain celana yang menutupi kaki kanan tetangganya ia singkapkan. Subhanallah! Kasim seolah tak percaya... ia mampu melihat jalur dan susunan urat saraf yang ada di kaki tetangganya. Sungguh, Allah Swt telah menyingkapkan sebuah rahasia pandangan yang tidak Dia Swt berikan kepada makhluk lainnya. Kasim dapat melihat struktur urat saraf dengan mata kepalanya sendiri!

Ia sendiri tak tahu apa yang harus dilakukan. Titik-titik urat syaraf yang terlihat terhambat olehnya, kemudian ia sentuh dengan jari-jari tangannya. Ya, hanya sentuhan bukan pijitan. Subhanallah! Dengan beberapa sentuhan ringan..., wajah tetangganya yang terkena stroke terlihat meringis kesakitan. Hanya dalam hitungan menit, Kasim pun menyudahi praktek pertamanya.

Kasim sendiri tidak percaya atas apa yang ia lakukan, namun berbeda dengan tetangganya, ia terlihat agak plong dan rasa sakit yang dideritanya mulai agak ringan ia rasakan. Tetangga itu berkali-kali minta Kasim untuk melakukan hal yang sama hingga ia pun dengan izin Allah menemukan kesembuhan. Alhamdulillah!

Sudah banyak orang yang mendapatkan kesembuhan atas penyakit yang diderita lewat tangan Kasim. Hingga hari yang keseribu, ia bekerja tanpa pamrih manusia, Lillahi Ta’ala!

Terakhir, Kasim memberitahukan bahwa sudah dua presiden RI yang berobat kepadanya dan ia pun masih bekerja tanpa pamrih.

Siapa yang memberikan hal terbaik kepada Allah Swt, maka dengan mudah Dia Swt akan memberikan yang terbaik pula kepadanya. Yakinilah hal itu, dan mulai amalkan!
Para Sahabat, dalam keseharian, seringkali kita menemukan hal-hal yang bisa menjadi "cermin", teladan, hikmah, inspirasi dsb, tetapi seringkali kita tidak mengambil manfaat apa pun dari situ, atau mungkin kita tidak menyadari. Hal-hal tersebut bisa terjadi dari percakapan, pergaulan, membaca, dan lain-lain persinggungan . Mari saling berbagi dengan menorehkan tulisan dari apa yang kita alami dan kita sebarkan kepada yang lain agar menjadi rahmah.

Salam,
Danu Kuswara (Akang Danu)