Minggu, 25 Januari 2009

PARA PENCARI TUHAN ; MEREKA YANG KELUAR DARI KEMELUT HIDUP

Sebagai manusia, hampir bisa dipastikan, kita tidak akan pernah lepas dari kesulitan hidup. Hanya kualitas, apakah lebih ringan atau berat, dan kuantitas kesulitan itu yang berbedalah yang dialami.

Dalam mengatasi kesulitan hidup itu membuat sebagian orang semakin dekat dengan Allah, dan membuat sebagian yang lain semakin jauh dari Allah.

Mari kita belajar dari kisah seperti yang dituturkan sahabat saya Sofyan tentang seorang kenalannya Firman, yang selama tiga tahun mencoba menyelesaikan masalahnya tidak selesai-selesai, tetapi ketika ia datang kepada Allah, maka dalam waktu semalam Allah menyelesaikan masalahnya. Ko’bisa semudah itu? Ya bisa saja, “Innamaa amruhu idza aroo da syaian an yaqu la lahuu kun fayakuun”,”Sesungguhnya apabila Tuhanmu menghendaki sesuatu, Dia hanya berkata kepadanya”Jadilah” maka jadilah sesuatu itu. “(QS Yasin:82).

Firman sudah 3 tahun menyelesaikan masalah tapi tidak selesai-selesai, dan ketika sudah mencapai klimaksnya ia memutuskan untuk bunuh diri. Sebagian orang bertanya, masalahnya apa sih sampai memutuskan untuk bunuh diri? Masalah Firman rupanya ada tiga, yaitu, satu, dia punya hutang kepada rentenir yang sudah tidak mampu dibayar, kedua, istrinya meminta untuk diceraikan dan ketiga, anaknya akan dikeluarkan dari sekolah karena tidak bayar uang sekolah.

Pada suatu hari Minggu sekitar jam 10 pagi, Firman didatangi oleh Rentenir beserta debt collectornya. Si rentenir bilang kepada Firman,”Man, kalau besok Senin jam 10 kamu tidak bisa melunasi sisa hutangmu yang 15 juta, pilihannya ada dua. Satu, kamu keluar dari rumah ini, atau yang kedua, saya yang mengeluarkan kamu.” Serasa bungkuk tubuh Firman, lemas rasanya, berkunag-kunang pandangannya.

Rupanya Firman punya masalah hutang yang bertumpuk-tumpuk hingga ia tidak bisa melunasi sisa hutangnya yang berbunga ganda. Firman bukan orang susah. Memang dulunya ia susah, tetapi karena kegigihan dan keuletannya Firman menjadi suskses dan kaya. Dulu, bisnisnya Firman adalah jual beli besi bekas dan rekondisi alat-alat berat. Tetapi ketika bisnisnya makin maju dan Firman tambah sibuk, Firman mulai lupa kepada Tuhan. Awalnya pada waktu Shalat tiba, di entar-entarin, menunggu waktu hingga hampir berganti waktu Shalat. Lama kelamaan, Shalatnya jadi bolong-bolong dan akhirnya tidak Shalat sama sekali. Itu Shalat yang wajib, apalagi yang sunnahnya, seperti yang ketika Firman masih belum sukses, yaitu Shalat Duha, Tahajud dan sebagainya.

Yang menjadi parah, Firman menjadi musyrik. Firman ketika jaya didatangi seorang temannya yang menawarkan untuk cari “perlindungan”. Katanya,”Man, kamu kan bisnisnya lagi bagus, kamu musti punya “jagaan”, ada nih “kyai” yang bisa ngasih jimat buat jaga-jaga dari orang yang tidak senang dengan kesuksesan kamu.” Sudah pasti itu kyai gadungan, lagipula mana ada kyai yang nawarin hal-hal seperti itu.

Masalah Firman yang kedua adalah istri. Sekitar jam 12 habis Zuhur di hari Minggu yang sama, istrinya datang untuk memberi ultimatum. Istrinya bilang,”Bang, kalau kamu besok Senin jam 12 kamu tidak datang ke Pengadilan Agama untuk menandatangani surat cerai, maka besok saudara-saudara saya akan menjemput paksa Abang untuk diseret ke pengadilan agama buat menandatangi surat cerai.” Mendengar ultimatum istrinya, badan Firman terasa makin bungkuk saja. Gelap pandangannya, bumi terasa mau runtuh baginya.

Istrinya minta cerai karena alasannya Firman sudah selingkuh. Waktu Firman sukses dan jaya, hobinya adalah berjudi dan mabuk. Ketika bisnisnya mulai surut dan makin banyak kegagalan hinggaambruk, maka yang tadinya hobi, judi dan mabuk menjadi pelarian. Ketika di suatu malam Firman mabuk, pulangnya bersama-sama perempuan lain yang sama-sama mabuk, dan terjadilah hal yang tercela. Empat bulan kemudian perempuan itu hamil. Dan istrinya Firman tahu akan hal itu.

Seorang wanita, seorang istri, kalau hanya masalah kesulitan ekonomi, kebanyakan sih masih tahan. Kalau di rumah sedang tidak ada uang belanja, istri mau tuh untuk berhutang dulu. Kalau lagi perlu modal, istri juga mau untuk mencari ke kiri dan ke kanan, bahkan ke orang tuanya untuk cari pinjaman modal. Begitu pula kalau ada tukang tagih hutang datang ke rumah mencari suaminya, mau juga istri berbohong untuk bilang kalau suaminya tidak di rumah. Tetapi kalau masalah hati, masalah perasaan, perempuan mana pun kontan bilang, nehi!!! Sudah tidak bisa lagi suami di bela-belain. Nah, istrinya Firman sudah dua tahun pisah ranjang dan pisah rumah. Rupanya hari Minggu siang itu merupakan klimaks dari tidak bisanya lagi tenggang rasa ditolerir oleh istrinya Firman.

Masalah ketiga adalah anak. Anak Firman ada dua, yang pertama yang sulung namanya Rizki, ikut dengan Firman. Sedang adiknya Aulia ikut dengan ibunya. Sekitar pukul empat, habis Ashar, juga di hari Minggu itu, Rizki datang kepada Firman, memberitakan bahwa mulai Senin besok ia tidak boleh lagi bersekolah, karena sudah menunggak bayaran sekolah selama tujuh bulan.

Sahabat dan teman-temanku, seorang ayah apabila melihat anaknya bermain dengan teman-temannya yang sedang jajan, anak kita tidak jajan karena kita sebagai ayah tidak bisa memberi uang jajan, hati ini rasanya remuk redam. Mau pecah tangis kita, tidak tega melihat anak kita seorang diri merenung karena tidak bisa ikut jajan. Apalagi harus dikeluarkan dari sekolah karena tidak mampu bayar uang sekolah. Bagi Firman berita dari anaknya tadi sudah menjadi suatu “kiamat” baginya. Maka, sehabis Isya, di Minggu malam itu sekitar pukul delapan, Firman memutuskan untuk bunuh diri. Say good bye pada dunia.

Tetapi,... Firman sepertinya masih rada benar otaknya. Dia teringat bahwa dia belum Shalat Isya. Pikirnya, shalat dulu deh, buat terakhir kalinya. Untuk mendirikan shalat kan harus berwudhu dulu. Rupanya tanpa disadari, Firman kelak melakukan langkah-langkah seperti yang dianjurkan oleh Rasulullah apabila seseorang sedang mumet, sedang dirundung masalah. Yang pertama, berwudhu lah. Berwudhu kan membasuh muka, tetapi bagi Firman kenapa yang terasa sejuk dan nyaman kok hatinya?

Lalu kata Rasulullah, Shalatlah (shalat Hajat) dua rakaat. Tetapi dalam kisah ini konteksnya Firman shalat Isya. Prinsipnya sama saja. Sehabis salam, kiri kanan, Firman pandangannya tertumbuk pada Qur’an yang ada di sebelah sajadah.

“Baca Qur’an dulu deh, mumpung terakhir kalinya’”gumam Firman. Rupanya Allah sedang berkehendak berkomunikasi dengan Firman. Maka dengan tuntunanNya Firman membuka Qur’an pada Surat Ali Imran ayat 26-27. “Katakanlah (Muhammad) ‘Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan siapa pun yang Engaku kehendaki dan Engkau hinakan siapa pun yang Engkau kehendaki. Di tanganMu lah segala kebajikan. Sungguh, Engkau Maha Kuasa atas segala Sesuatu. Engkau masukkan malam ke dalam siang dan Engkau masukkan siang ke dalam malam. Dan Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan Engkau keluarkan yang mati dari yang hidup. Dan berikan rizki kepada siapa yang Engkau kehendaki tanpa perhitungan.”

Ayat ini menjelaskan bahwa segala peristiwa yang dialami oleh manusia terjadi hanyalah karena kehendak Allah. Allah berkehendak melakukan apa saja, dan manusia tidak berkuasa menentukan hitam putihnya kehidupan. Hal ini bagi orang beriman tentunya harus disadari seutuhnya bahwa hanya kepada Allah lah tempat untuk bersandar diri.

Membaca ayat ini Firman belum yakin bahwa Allah lah yang mengatur dan menentukan apa-apa yang terjadi dalam kehidupan ini. Terus tangannya terbimbing membuka halaman demi halaman Al-Qur’an hingga berhenti pada Surat Fatir ayat 2-3. “Apa saja di antara rahmat Allah yang dianugerahkan kepada manusia, maka tidak ada yang dapat menahannya, dan apa saja yang ditahan-Nya maka tidak ada yang dapat melepaskannya setelah itu. Dan Dia lah yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Wahai manusia! Ingatlah akan nikmat Allah kepadamu. Adakah pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezeki kepadamu dari langit dan bumi? Tidak ada Tuhan selain Dia; maka mengapa kamu berpaling?”

Di ujung ayat 2 ada Asma ul Husna, Ya Aziz Ya Hakim, Yang Maha Perkasa Maha Bijaksana. “Kalau semua yang terjadi karena kehendak Allah, sudah lah saya tidak jadi bunuh diri.”Firman membatin. Firman pun memanjaatkan do’a“Ya Allah Engkau yang Maha Perkasa Maha Bijaksana, aku menghadap Mu. Tolong lah ya Allah hamba Mu agar besok rumah saya jangan disita, agar besok istri saya tidak jadi cerai dan anak saya tidak diberhentikan sekolah”

Firman terus membaca Qur’an, kali ini ayat tentang pasrah, surat At Talaq ayat 2-3,”...Barang siapa bertaqwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluannya).” Membaca ayat ini Firman timbul kepasrahannya. Maka pada doa sebelumnya ia bermohon agar rumahnya tidak disita, istri tidak jadi bercerai, anak jangan sampai keluar sekolah, kali ini doanya jadi berubah. “Ya Robb, kalau rumah ini tidak lagi Engkau amanahkan kepada hamba, maka hamba pasrah. Besok juga akan saya kabulkan gugatan cerai istri saya dan anak saya pun dikeluarkan dari sekolah. Yang penting Engkau ampunkan dosa-dosa hamba kepadaMu selama ini.”

Kemudian Firman teringat bahwa yang disita kan rumahnya, isinya mah tidak. Maka ia berniat untuk menyedekahkan isi rumahnya kepada siapa saja yang membutuhkan, apa itu kursi, lemari, pakaian dan lainnya. Dan azan Subuh pun bergema bersahut-sahutan. Firman pun bergegas untuk shalat Subuh berjamaah di Masjid.
Sepulang dari Masjid Firman melihat ada sesosok orang yang sedang menunggu di depan rumahnya. Jantung yang ada di dada serasa merosot jatuh ke perut. Dikiranya rentenir yang terlalu kepagian datangnya. Eh,...ternyata teman lamanya. Jantungnya pun terasa naik lagi ke dada. “Saya kira siapa eh ngga’taunya kamu. Ada apa nih tumben kesini pagi-pagi.” Temannya menjawab,”Begini Man, saya mau ngajak kamu bisnis. Ada yang mau jual alat berat di Riau, tolongin saya untuk menaksir harga beli terus dipoles deh.” Firman awalnya malas untuk jawab. Tapi mulutnya menjawab sekenanya agar temannya itu tidak jadi mengajaknya. “Boleh aja. Tapi kalau kamu bisa menyiapkan uang 50 juta pagi ini, saya mau ikutan.” Subhanallah. Bukannya temannya menolak tapi mengiyakan.”Kalau 50 juta mah engga’ ada tapi kalau 25 juta, begitu Bank buka pagi ini kita ambil deh.”

Firman terasa melompat dari kursi tersedak pula air minumnya. Terbayang olehnya bahwa ia sedang butuh uang 15 juta pagi ini. Ini malah ada yang menyediakan 25 juta. Disini kekuasaan Allah terbukti oleh Firman (dan kita juga) bahwa bila kita datang kepada Allah, Allah akan datang kepada kita. Masalah pertama Firman selesai. Masalah kedua bagaimana? Ternyata malam harinya Allah menggerakkan anak kedua Firman yang tinggal bersama istrinya menangis sepanjang malam. Kata Ibu si istri, “mungkin dia kangen sama kakak dan bapaknya. Kerumah Bapaknya gih sana besok pagi.” Si istri dengan berat hati, tentu saja, menjawab,”boleh deh, tapi saya kesana bukan untuk berbaikan, tapi untuk anak ini.”

Sesampai di rumah Firman, istrinya melihat Firman menyambut dengan senyum lebar, yang belum pernah dilihatnya selama 3 tahun ini sambil berkata,”Mah, Alhamdulillah rumah kita tidak jadi disita. Saya dapat duit 25 juta dari temen untuk bantuin dia bsinis ke Riau. Tolong yang 15 juta kamu bayarin buat yang nagih jam 10 nanti. Sisanya 10 juta kita bagi dua. Yang 5 juta buat ongkos saya ke Riau, yang sisanya buat biaya di rumah sama bayar SPP nya Rizki.” Apa jawab istrinya? “Iya deh Bang.” Subhanallah. Allah telah menggerakkan hati istrinya Firman untuk luluh seketika. Artinya kan tidak jadi cerai. Masalah ketiga SPP nya Rizki mah ringan deh.

Lihat. Bila Allah menyelesaikan masalah tidak pakai satu persatu diuraikan. Tetapi sekaligus. Akal dan logika manusia tentu saja sulit untuk memahami hal ini. Karena ilmu manusia amat terbatas. Ilmu Allah tidak terbatas. Oleh karenanya bagi siapa saja yang mempunyai masalah hidup, pribadi, keluarga, bisnis dan lainnya, datanglah kepada Allah dengan mengikuti apa yang Rasulullah pesankan bila kita menghadapi suatu masalah hidup. Silakan mencoba dan bertawakkallah. Insya Allah, Allah akan mengeluarkan kita dari kita punya kesulitan hidup. Amin amin ya Rabbal ‘Alamin.

Rabu, 21 Januari 2009

BERHENTILAH MENJADI “GELAS”

Seorang teman saya menceritakan sebuah kisah tentang seorang guru sufi yang mendatangi seorang muridnya ketika wajahnya belakangan ini selalu tampak murung. “Kenapa kau selalu murung, nak? Bukankah banyak hal yang indah di dunia ini? Ke mana perginya wajah bersyukurmu? ” sang Guru bertanya. “Guru, belakangan ini hidup saya penuh masalah. Sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habis-habisnya, ” jawab sang murid muda.

Sang Guru terkekeh. “Nak, ambil segelas air dan dua genggam garam. Bawalah kemari. Biar kuperbaiki suasana hatimu itu.” Si murid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan garam sebagaimana yang diminta.

“Coba ambil segenggam garam, dan masukkan ke segelas air itu,” kata Sang Guru. “Setelah itu coba kau minum airnya sedikit.” Si murid pun melakukannya. Wajahnya kini meringis karena meminum air asin. “Bagaimana rasanya?” tanya Sang Guru. “Asin, dan perutku jadi mual,” jawab si murid dengan wajah yang masih meringis. Sang Guru terkekeh-kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan.

“Sekarang kau ikut aku.” Sang Guru membawa muridnya ke telaga di dekat tempat mereka. “Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke telaga.” Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke telaga, tanpa bicara. Rasa asin di mulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah di hadapan guru, begitu pikirnya.

“Sekarang, coba kau minum air danau itu,” kata Sang Guru sambil mencari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat di pinggir telaga. Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air telaga, dan membawanya ke mulutnya lalu meneguknya. Ketika air telaga yang dingin dan segar mengalir di tenggorokannya, Sang Guru bertanya kepadanya, “Bagaimana rasanya?” “Segar, segar sekali,” kata si murid sambil mengelap bibirnya dengan punggung tangannya.

Tentu saja, telaga ini berasal dari aliran sumber air di atas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil di bawah. Dan sudah pasti, air telaga ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa di mulutnya.

“Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi?” tanya sang guru “Tidak sama sekali,” kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang Guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air telaga sampai puas.

“Nak,” kata Sang Guru setelah muridnya selesai minum. “Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang harus kau alami sepanjang kehidupanmu itu sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlahnya tetap, segitu-segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir ke dunia ini pun demikian. Tidak ada satu pun manusia, walaupun dia seorang Nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah.” Si murid terdiam, mendengarkan.

“Tapi Nak, rasa `asin’ dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya hati yang menampungnya. Jadi Nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah jadi gelas. Jadikan hati dalam dadamu menjadi seluas telaga agar kau bisa menikmati hidup”

(terima kasih kepada seorang teman yang telah mengirimkan cerita ini)

Minggu, 18 Januari 2009

REZEKI YANG TAK TERDUGA

Suatu hari seorang teman saya, namanya Firman dalam sebuah obrolan di rumah, memberi sebuah kesimpulan yang saya tidak duga, yaitu rezeki dari Allah itu tidak pernah salah alamat. “Maksudnya apa Man?” tanya saya jadi pingin tahu lebih mendalam. “Begini Kang, kalau saya lihat supir-supir angkot kalo’ lagi narik kan suka belok sama berhenti seenaknya. Suka bikin pengguna jalan lainnya jengkel. Menghalangi jalan, bikin macet, suka serempeten. Udah gitu penumpang yang diuber-uber ya segitu aja. Tapi nih Kang, saya pernah naik mikrolet dari Senen ke Kampung Melayu. Supirnya udah rada tua. Narik angkotnya kaya’ orang yang ngga’ butuh penumpang.” Firman ngomong dengan penuh semangat. “Kaga’ butuh penumpang kaya’ gimana?” tanya saya pingin tahu lebih jauh.

“Iya tuh, dia ga’ pernah ngetem nungguin penumpang. Kalo ngga’ ada yang nyetopin dia engga’ berhenti.Tapi penumpangnya sepanjang perjalanan ngga’ pernah kosong. Kalo ada yang turun, ada juga yang naik. Eh anehnya, waktu ada mikrolet lain nyalip dia buat ngambil penumpang, itu calon penumpang malah naik mikrolet dia.” Jelas Firman. “Iya Man, rezeki mah udah ada yang ngatur. Yang penting kita istiqomah dalam berikhtiar mencari rezeki di jalan yang benar, penuh kesabaran dan syukur, maka Allah pasti memberikan rezeki yang memang sudah dipersiapkan buat kita itu kepada kita.”Kata saya sembari nambahin penjelasan.

Teman saya yang lain, Bayu, juga ikut nambahin. “Bener Kang, coba kalo kita amatin. Kalo kita bercukur, maka terbesar kemungkinan tukang cukurnya berasal Garut. Kalo kita nemuin tukang “rokok” yang ada di pinggir jalan atau yang ada di ujung dari gang perumahan kita, maka bisa diperkirakan kebanyakan mereka dari Kuningan, Jawa Barat. Begitu juga Kang, tukang tambal ban di pinggir jalan, kebanyakan mereka ya dari Tapanuli. Tukang kredit keliling yang suka muter di perumahan, dari Tasikmalaya.” “Kamu punya penjelasan Yu.”tanya saya. “Begini, setiap orang itu akan mendapat rezeki dari keterampilan yang dimiliki. Orang Garut yang punya ketrampilan mencukur, maka ia akan membuka usaha cukur rambut. Jadi orang lain akan membayar atas jasa atau ketrampilan dan jerih payah kita. Sama juga halnya dengan kita. Keterampilan atau keahlian apa yang kita miliki dan kita “jual” sehingga orang lain mau mengeluarkan uang atas jasa penggunaan keahlian atau keterampilan kita.”Bayu menjelaskan dengan penuh semangat.

Jadi dari obrolan tadi, intinya jangan pernah berharap rezeki akan datang begitu saja tanpa ada satu usaha untuk menunjukkan satu keterampilan atau keahlian yang kita miliki. Lebih dari satu keterampilan atau keahlian yang kita miliki, insya Allah akan lebih pula yang bisa kita dapat. Tidak punya keterampilan satu pun, siap-siap gigit jari karena kesempatan selalu terlewat begitu saja tanpa bisa kita raih. Bahkan untuk menjadi Office Boy (OB) sekali pun memiliki keterampilan khusus yang menjadi prasyarat agar bisa diterima sebagai OB.

Dari obrolan ringan-ringan berat tadi saya jadi punya bahan untuk saya sampaikan kembali kepada teman-teman yang suka pada ngumpul di Masjid sehabis lepas Shalat Maghrib.

Kalau dari obrolan teman-teman saya Firman dan Bayu saya bisa simpulkan bahwa cara mencari rezeki tadi adalah rezeki yang bisa diduga, terukur, persis seperti orang kerja di pabrik, kantoran, menjadi guru atau dosen, bahkan para pensiunan dan sebagainya. Tanggal 25 atau tanggal 1 setiap bulannya sudah diperkirakan akan dapat sejumlah gaji atas imbalan kerja kita selama satu bulan. Bahkan kalau ada potongan seperti hutang atau kas bon pun bisa diperkirakan besarnya gaji yang kita peroleh sisanya.

Nah, bagaimana ceritanya dengan rezeki lain yang sifatnya tak terduga? Memangnya ada? Mari kita belajar dari kisah, katakanlah dari seorang yang saya kenal, namanya Budiman. Budiman ini sekitar tahun 2006 lalu baru saja menyelesaikan pembangunan rumahnya, setelah sekitar dua belas tahun menikah. Biaya mendirikan rumahnya itu lumayan besar dengan dua lantai, yang selama proses pembangunannya banyak diwarnai serangkaian “keajaiban-keajaiban” yang sampai sekarang sulit dicerna oleh akal Budiman dan istrinya. Dengan modal awal uang simpanan hanya 40 juta, selesailah rumah seharga kira-kira 10 kali lipat dari modal awalnya.

Memang sih ada juga dia pinjam duit sama temen dan keluarga buat bayar ongkos tukang yang mesti dibayar setiap sabtu sore. Karena duitnya baru keluar minggu depan ya pinjam dulu. Baginya yang penting upah tukang kebayar dulu. Selama proses pembangunan rumahnya hingga selesai tidak pernah sehari pun macet. Singkat kata selesailah pembangunan rumah itu dalam tempo 6 bulan,

Suatu sore sekitar jam 4 sore sehabis Ashar di hari Minggu di waktu Budiman lagi merapihkan tanaman di halaman kecilnya, Budiman kedatangan seseorang yang rupanya supir dari mertuanya yang sudah bekerja di mertuanya sejak istrinya masih sekolah SMP. Rupanya pak sopir itu membawa surat titipan dari Ibu Mertua, yang ketika dibuka dan dibaca isinya berita bahwa anak dari pak sopir tadi mau dioperasi tumor di payudaranya dan membutuhkan biaya. Untuk itu dimohonkan kepada para anak menantunya untuk bersedia patungan nambahin meringankan pembiayaannya.

Budiman bertanya kepada istrinya,”Mah, kira-kira kita masih ada uang ngga’?” Maklum, setelah selesai bikin rumah, semua uang tabungan bahkan kalung sama cincin istrinya juga habis. “Ada sih Bang, kalau sampai habis bulan sih cukup deh. Memang Abang mau bantu berapa”Jawab istrinya. “Bagaimana kalau 500 ribu, ada ngga?”Kata Budiman lagi.”Ada Bang”kata istrinya. “Ya sudah kita bantu segitu, Bismillah saja, semoga jadi barokah.”kata Budiman sambil memasukan uang 500 ribu ke amplop dan diberikan kepada pak sopir.

Besok paginya, hari senin sekitar pukul setengah enam, diwaktu Budiman baru saja menghirup kopi sebelum berangkat ke tempat kerja, telepon di rumah berdering. Ternyata dari Uwak istrinya yang tinggal di Ciamis. Uwaknya tersebut memberikan kabar bahwa kakaknya Uwak sedang menuju Jakarta, khusus ingin menemui istri Budiman yang katanya mau ngasih uang sebesar 5 juta, bagi-bagi habis jual tanah di kampungnya di Ciamis, sebagai hadiah buat ponakannya.

Subhanallah, belum sampai 24 jam Budimandan istri menginfakkan uang sebesar 500 ribu untuk membantu biaya operasi anak pak sopir mertuanya, Allah sudah menggantinya sebanyak 10 (sepuluh) kali lipat. Benar Firman Allah,”Wa yarzuqhu min haitsu laa yahtasib.” “Dan Allah akan memberi rezeki dengan cara yang tidak diduga-duga.” (QS At-Thalaq:3)

Dari kisah di atas apakah kita juga bisa meraih rezeki tak terduga seperti itu? Mengapa tidak?

Mari kita coba saja langkah-langkah berikut ini;

Pertama, Gemar beristighfar, mohon ampun kepada Allah, taubat. Itulah ikhtiar kita. Sebuah usaha yang jarang ditempuh oleh kebanyakan orang. Ikhtiar yang menurut kebanyakan orang, termasuk juga saya, hanya akan mendatangkan maghfirah dan ampunan Allah SWT. Namun, siapa menyangka, saat manusia membutuhkan karunia Allah Yang Maha Kaya, saat nafkah terasa berkurang, mungkin saja disebabkan kita belum menyambut “ampunan” Allah SWT. (QS Hud:11)

Kedua, Gemar Bersedekah. Seorang Ustadz, teman saya, berkata, bahwa kalau pingin rezeki lapang dan selalu ada saat kita membutuhkan,...maka jangan lupa untuk menolong orang. Coba deh,...berbagi dengan sesama. Sebab, rezeki Allah bisa kita dapatkan , kita raih, kita beli dengan cara berinfak. Di dalam Hadits Qudsi, Allah memastikan eksistensi (keberadaan) sedbuah hukum kausalitas, hukum sebab akibat. Dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah SAW bersabda, Allah SWT berfirman,”wahai anak Adam berinfaklah, karena sebab berinfak engkau akan mendapatkan nafkah!”(Muttafaq Alaih)

Ketiga, Bertaqwa secara istiqomah. Didalam Al-Qur’an Alah SWT berfirman,”Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia mengadakan baginya jalan keluar. Dan Dia memberi rezeki dari jalan yang tidak diduga-dua.” (QS At-Thalaq:2-3)

Ke empat, Istiqomah Shlat Dhuha. Orang yang gemar melaksanakan Shalat Dhuha karena Allah, akan diberikan kelapangan rezeki oleh Allah. Rasulullah SAW menjelaskan dalam hadits Qudsi dari Abu Darda’ bahwa Allah berfirman:”Wahai anak Adam, rukuklah (shalatlah) karena Aku pada awal siang (shalat Dhuha) empat rakaat, maka Aku akan mencukupi (kebutuhan)mu sampai sore hari.” (HR Tirmidzi)

Sabtu, 17 Januari 2009

HIKMAH DI BALIK SAKIT

Minggu lalu salah seorang sahabat saya, seorang penyiar, tiba-tiba mengingatkan saya dengan suatu pertanyaan, sebenarnya suatu hal yang lazim tetapi kali ini saya rasakan berbeda,”Kang, ini sudah musim hujan, hati-hati lho kita musti jaga diri biar ngga’gampang sakit. Eh Kang, ngomong-ngomong ada ngga’ sih hikmah kalo orang sedang mengalami sakit?”

Saya senyum kecil saja mendengar sergapan pertanyaan tiba-tiba sahabat saya itu,”Ah,...aya aya wae kamu?” jawab saya ringan, tetapi sekaligus berpikir juga, memangnya hikmah apa ya dibalik sakit itu.

Secara kebetulan dalam satu bulan terakhir saya beberapa kali menjenguk orang sakit, baik itu teman dan saudara saya sendiri. Dan ketika saya merenung sebentar mengingat-ingat momen-momen ketika menjenguk yang sakit, tergumpallah sebuah rentetan jawaban buat sahabat saya itu.

Di rumah, malamnya sambil menikmati kopi, saya merenungkan mencoba menguak hikmah apa saja yang ada dibalik peristiwa sakit. Bagi sebagian banyak orang, bisa saja termasuk kita, sakit dianggap sebagai suatu musibah bahkan bencana. Saya teringat akan hadits Rasulullah SAW tentang keagungan musibah,”Jika Allah menurunkan ujian kepada hamba yang beriman dengan suatu ujian penyakit pada tubuhnya, maka Allah mememerintahkan para malaikat-Nya:’Catatlah amal kebajikan untuknya!’ Jika Allah menyembuhkan hamba itu, maka Dia telah membersihkan dan menyucikan segala kesalahannya. Dan bila hamba itu sampai meninggal dunia, maka Dia juga telah mengampuni dosa-dosanya dan memberikan rahmat kepadanya.” (HR Ahmad)

Subhanallah, hampir tersedak kopi saya mengingat hadits ini. Mengapa kita tidak mengubah pola penilaian dan penyikapan kita tentang sakit. Betapa tidak jika kebanyakan kita menilai penyakit sebagai suatu malapetaka dan nestapa, mari kita mencoba sekuat daya kita melihatnya sebagai karunia dan kasih sayang Allah. Bagaimana tidak dikatakan sebagai anugerah, kalau dengan perantaraan penyakit itu kedudukan kita menjadi sangat istimewa di hadapan Allah.

Bagaimana tidak dikatakan karunia jika dengan penyakit yang kita derita bukan hanya dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kita yang dihapuskan oleh Allah, melainkan juga pahala-pahala kebajikan kita dilipatgandakan oleh-Nya, bahkan setiap detik nafas kehidupan yang kita lalui bersama penyakit sama nilai pahalanya dengan satu hari ibadah? Bukankah penyakit layak disebut karunia apabila bersama penyakit itu kita mampu mendidik diri kita tentang kearifan hidup, dan membuat kita mampu memahami rahasia kehidupan?

Kemudian sambil sesekali mereguk kopi saya coba mengurai satu persatu hikmah penyakit itu secara sederhana, seperti yang saya mampu pahami, pertama, kita yang sehat dan yang sakit jadi mengingat betapa penting dan amat bernilainya kesehatan itu. Kita menjadi aware akan pentingnya menjaga kesehatan. Bukankah bila kita sehat kita dapat terus beraktifitas sehari-hari, mencari nafkah, mengantar dan menjemput anak sekolah, mengantar istri berbelanja atau menemani suami ke rumah mertua, dan yang paling penting, beribadah, terutama shalat.

Bayangkan, disaat sakit, kita membayangkan nikmatnya dapat mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, takzimnya berruku, syahdunya ketika bersujud. Tapi ketika sakit, tanganpun terasa linu untuk digerakkan, kepala terasa berat untuk dianggukkan. Tetapi walau pun demikian, tetap saja shalat itu harus ditegakkan. Betul tidak?

Kemudian yang kedua, melatih kesabaran dan bersyukur. Dalam keadaan sakit, kita biasanya amat mudah berkeluh kesah, bahkan bersumpah serapah. “Gara-gara nih sakit hilang deh proyek gue”. Mungkin begitu yang pernah kita dengar. “Percayalah ada sebutir mutiara yang sedang diasah dalam dirimu dan suatu waktu percikan cahayanya akan menyinari sekelilingmu. Semoga rahmat Tuhan selalu bersamamu”. Demikian pernah dikatakan seorang sufi kepada seseorang yang sedang mengeluhkan penyakitnya yang terasa menyiksa.

Seorang Ulama besar Turki, Said Nursi, menasihatkan kita semua yang tengah dilanda penyakit untuk melihat kepada oarng-orang yang jauh lebih menderita daripada kita agar kita bia bersabar, bahkan mensyukuri kondisi kita. “Apabila engkau terluka, lihatlah kepada tangan-tangan yang terputus. Apabila engkau kehilangan satu mata, lihatlah kepada orang-orang yang kehilangan kedua matanya sehingga engkau bisa bersyukur kepada Allah.”

Konon Sa’di Shirazi, pujangga besar sufi terkemuka dari tanah Persia, pernah mencair emosinya karena kehilangan sandalnya di masjid Damaskus, saat ia melihat seorang penceramah yang tersenyum dengan kedua kakinya yang buntung. Dia sedih hanya disebabkan kehilangan sendal, padahal disini ada orang masih bisa tertawa ria kendati sudah kehilangan kedua kakinya. Itulah situasi ketika seseorang menemukan makna hidupnya.

Lalu yang ketiga, tanpa kita sadari, menjenguk orang yang sakit menjadi ajang silaturahmi. Ada teman atau saudara yang sudah lama tidak saling berjumpa, baik karena jauh jarak tingalnya, karena kesibukannya, atau karena hal lainnya, nah di tempat teman atau kerabat yang sakit jadi saling bertemu tuh. Karena saling bertemu bisa saja ada kejadian-kejadian surprise yang terjadi, seperti yang saya dengar dalam percaakapan diantaranya,”Eh kamu masih di PH ga? Kalau masih, kebetulan kantor saya lagi pingin bikin beberapa seri video korporat nih.”

Ingat dong akan pesan Nabi SAW kalau silaturahmi itu bisa memanjangkan umur dan rezeki.

Yang ke empat, menjenguk yang sakit, bisa menimbulkan rasa empati, yang bermuara kepada solidaritas atau rasa gotong royong. Kalau yang sakit, berat sekali pun, asal dia mampu apalagi di cover oleh asuransi, itu mah mungkin tidak jadi masalah secara finansial, paling capek saja bagi keluarganya yang harus menunggui. Tetapi bagaimana kalau yang sakit, berat, dengan operasi besar lagi, sedangkan secara finansial kurang mampu, ditambah tidak ada asuransi lagi. Kan bagi keluarga rasanya bagai mau “kiamat.”

Maka disinilah timbul rasa empati, gotong royong, saling bantu membantu mengurangi “beban” yang sakit dan keluarganya. Coba bayangkan kalau kita yang mengalami.

Sekitar sembilan ratus tahun yang lalu dalam karya monumentalnya, Layla Majnun, pujangga Islam terkemuka Syaikh Nizami pernah menulis:”Orang yang tidak pernah dihimpit kesedihan, ia tidak akan dapat memahami hati yang sedang merana.” Pernyataan Nizami di atas menyingkap sebuah rahasia kehidupan manusia bahwa kebanyakan kita menjadi peduli dengan kenestapaan orang lain sewaktu kita merasakan penderitaan yang sama.

Penderitaan yang kita rasakan akan menimbulkan empati sosial. Dengan sakit biasanya rasa kemanusiaan kita menjadi peka. Kita menjadi sangat peduli kepada orang lain yang menderita, yang tidak kita rasakan sewaktu kita hidup senang, mewah dan sehat.

Yang kelima, saling mendoakan. Bagi kita yang sehat apabila mendoakan kesembuhan dan kebaaikan bagi yang sakit, sesungguhnya kebaikan dari doa itu akan kembali kepada kita. Dan kita yang sehat juga, ini yang kebanyakan dari kita tidak mengetahui, minta didoakan oleh yang sakit. Sabda Rasulullah SAW,”Mintalah doa kepada yang sakit sebab doanya mustajab.” (HR Ibnu Majah)

Pertanyaannya, mengapa doa orang –orang yang sakit menjadi mustajab? Jelas hal itu merupakan karunia istimewa sebagai wujud kasih sayang Allah kepada orang-orang yang sakit. Namun setidaknya saat sakit umumnya kita benar-benar merasakan kefakiran, kelemahan, kehinaan, ketidakberdayaan dan kebutuhan kita kepada Allah. Dalam kondisi yang sangat membutuhkan tersebut doa-doa yang kita panjatkan menjadi terkabul.

Oleh karena itu, kalau kita sedang sakit atau diuji dengan berbagai cobaan lainnya, jangan lantas lupa ibadah (Shalat). Pergunakan sat-saat yang mulia itu makin menjadikan kita soleh dan memanjatkan doa. Percayalah, doa-doa yang kita panjatkan pasti didengar, diperhatikan, dan dikabulkan oleh-Nya yang Maha Mendengar doa orang-orang yang merana. Dan seandainya doa-doa kita belum dikabulkan saat ini, percayalah Dia telah menyimpan pahala yang sangat agung demi kebaikan dan kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Bukankah lebih baik kita menangis sejenak hari ini namun akan tersenyum selamanya di akhirat nanti, ketimbang kita tersenyum bangga hari ini namun akan menangis abadi di akhirat kelak.

Akhirnya saya menelepon sahabat saya yang penyiar tadi,”Mba’ Ola, besok senin sore tema kajian (di Radio Bahana 101,8 FM) saya tentang ‘Hikmah di balik Sakit’ ya, Insya Allah saya siap.”

Selasa, 06 Januari 2009

REUNI, INDAHNYA SILATURAHMI

“Hei,… dengan siapa ini ya? Dengan Rina? Sebentar,…Rina yang mana ya? Oh…iya…yang anu…anu…anu gitu ya. Apa kabarnya? Tinggal dimana kamu sekarang. Ngomong-ngomong anakmu sudah berapa?

Begitulah sepenggal obrolan istri saya di telepon hampir sepanjang hari Minggu di minggu yang lalu. Oh, rupanya dia sedang ngobrol dengan teman-temannya waktu SMA dulu yang sedang mengurusi rencana reuni SMA. Jadilah istri saya kena sibuknya baik dihubungi maupun ikut membantu menghubungi teman-temannya. Terlihat kegembiraan di wajahnya, sambil membujuk saya untuk pergi ke acara reuni di…….Cirebon.

Jadilah beberapa hari lalu saya menemani istri menghadiri acara reuni SMA angkatannya, di Cirebon, tentu saja sambil mengajak anak-anak, yang kebetulan sedang liburan semester. Memang hadir pada acara ini kesannya mendadak, baru sekitar 1 minggu sebelumnya diberitahu oleh teman-temannya. Tetapi karena reuni 25 tahun (reuni perak), maka dengan ringan dan bersemangat kami berangkat.

Kami menginap di hotel yang sama dengan berlangsungnya acara, biar tidak usah pindah-pindah parkir, yang kadang bikin repot, itu pun kalau tidak hujan, yang pas sore harinya kita sampai, sabtu, hujan besar plus angin juga. Praktis malam minggu kita habiskan di kamar saja. Untung saya, istri dan anak-anak sudah bawa persiapan bacaan, yang memang bagi saya hal yang jangan sampai terlupakan.

Disaat istri hadir di acara, saya dan anak-anak jalan-jalan keliling kota, dan kebetulan juga di depan hotel, tidak persis di depannya, tepatnya di depan kantor walikota, sedang ada acara festival kesenian dalam rangka peringatan HUT kota Cirebon yang ke…(lupa). Jadilah liburan akhir pekan dadakan terasa meriah (dan murah).

Menjelang Ashar, kita sudah berkumpul di kamar hotel. Istri cerita banyak hal tentang acara tadi siang. Dari temu kangen dengan teman-teman lamanya, memberikan bantuan untuk salah seorang gurunya yang harus cuci darah rutin, memberikan bantuan dana bergulir kepada sesama teman yang belum “berhasil”, hingga rencana membentuk wadah komunikasi alumni. Malamnya kami menyempatkan diri bersilaturahmi ke Sindanglaut, kota kecil di pinggiran Cirebon, menemui keluarga dan kerabat istri. Alhamdulillah, liburan singkat akhir pekan ini menjadi kesempatan untuk menebar dan merajut silaturahmi.

Dari liburan itu saya menangkap kesan bahwa pertama-tama manfaat dari reuni adalah sebuah refreshment atau penyegaran. Karena bagaimana pun juga, kenangan indah masa lalu, masa indah waktu kita masih kanak-kanak, usia sekolah atau kuliah, bisa menumbuhkan kembali kegembiraan bahkan juga inspirasi. Ada cerita dari seorang teman, dia akhirnya memiliki usaha beberapa mini market sebagai “oleh-oleh” dari acara reuni yang menginspirasikannya. Atau menemukan jodohnya setelah bertemu teman lama yang dulunya mungkin tidak “dilirik”.

Yang kemudian, selain memberikan bantuan atau sumbangan, ajang ini bisa menjadi sebuah gerakan. Ketika ada salah seorang teman kita yang masih belum “berhasil” maka bisa menggerakkan semacam dana bergulir untuk dia membangun usaha. Ajang reuni ini bisa dibuat wadah baik formal mau pun tidak (semacam paguyuban), yang masing-masing punya nilai plus minus, yang penting bagi saya adalah outputnya atau hasil kerjanya. Karena selain memberikan dana bergulir kepada sesama teman, bisa kemudian dikembangkan untuk meningkatkan kesejahteraan anggota masyarakat yang masih terseok-seok di landasan (belum lepas landas maksudnya), mereka yang tergolong dhuafa, yatim atau yatim piatu. Apalagi kalau mereka itu tetangga kita.

Memang dari reuni banyak hal bisa kita alami dan kita tindaklanjuti. Jadikan reuni sebagai sarana untuk memperkuat silaturahmi.

Mari kita ingat sabda Nabi SAW,”Barang siapa yang ingin murah rezeki dan dipanjangkan umurnya hendaklah bersilaturahmi.”