Minggu, 17 Mei 2009

TOMBO ATI ; PENENTERAM JIWA

Album : Kado Muhammad
Munsyid : Emha Ainun Nadjib

Tombo ati iku ono limang perkoro

Kaping pisan moco Qur'an sakmaknane
Kaping pindo Sholat wengi lakonono
Kaping telu wong kang sholeh kumpulono
Kaping papat weteng iro engkang luwe
Kaping limo dzikir wengi ingkang suwe

Salah sakwijine sopo biso ngelakoni
Insya Allah Gusti Pangeran ngijabahi


Artinya:
obat penentram jiwa ada lima

Yang pertama baca Qur'an dengan menyelami maknanya
Yang kedua Shalat malam lakukanlah
Yang ketiga Kepada orang sholeh dirimu senantiasa dekatkanlah
Yang keempat perbanyaklah berpuasa
Yang kelima Zikir malam perpanjanglah

Salah satu saja engkau khusyu' melakukannya
Insya Allah nasibmu akan dirawat oleh Yang Maha Kuasa

Kajian terhadap dakwah Wali Songo semakin menarik hati saya. Banyak sekali sarana dan media dakwah yang telah digunakan oleh para wali untuk menyebarkan ajaran Islam. Para wali ternyata sangat piawai dalam mendesain dakwah yang hendak disampaikannya kepada khalayak ramai dengan menggunakan berbagai macam sarana dan media dakwah. Salah satu media dakwah yang cukup efektif mereka gunakan antara lain melalui pendekatan seni. Dakwah melalui kesenian ini telah dilakukan oleh para wali dalam menyiarkan agama Islam. Bahkan diyakini bahwa empat dari sembilan wali yang dikenal dengan Wali Songo, yakni Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Kudus, dan Sunan Muria, semuanya menggunakan kesenian dalam menyampaikan dakwahnya.
Salah satu wali yang berdakwah melalui pendekatan seni ini adalah Sunan Bonang. Sunan yang bernama asli Raden Makhdum Ibrahim ini adalah anak dari Sunan Ampel dan kakak kandung dari Sunan Drajad. Pendekatan seni yang beliau lakukan dalam berdakwah ialah dengan menggunakan sarana gamelan Jawa dalam menyampaikan syiar Islam. Beliau juga mengubah dan membuat kreasi baru gamelan Jawa dengan nuansa baru, termasuk dengan menambahkan instrumen “bonang”. Karya-karya beliau memiliki nuansa zikir yang mendorong kecintaan manusia pada Allah SWT. Salah satu karya monumental beliau adalah tembang “Tombo Ati”. Tembang ini sampai sekarang masih sering dinyanyikan orang, bahkan terakhir Emha Ainun Najib dan Opick juga mempopulerkan kembali tembang ini dalam album mereka. Tembang “Tombo Ati” ini berisi lima resep ampuh sebagai pelipur hati kita agar senantiasa dekat kepada-Nya.
Tembang ini berisi nasihat kepada kita, supaya hati kita selalu tenang dan selalu dekat kepada-Nya, ada lima resep yang harus kita laksanakan dalam mengarungi kehidupan ini. Jika kelima resep ini benar-benar kita laksanakan insya Allah hidup kita akan bahagia, karena hati kita telah merasa tentram dan damai. Lima resep ini juga sangat baik untuk dilaksanakan sekarang ini, terutama sebagai “obat penawar” dari berbagai luka yang sedang menimpa bumi pertiwi ini. Kelima resep itu adalah :
1. Baca Qur’an dan maknanya.
Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa. ”Zaa likal kitaabu laa Raiba fii hi hudan lil muttaqiin.” ”(Al-Qur’an ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang betaqwa.”) (QS Al-Baqarah:2). Dengan sering membaca Al-Qur’an, apalagi disertai dengan memahami makna-makna yang terkandung di dalamnya, hal ini akan membuat kita semakin memahami tujuan dari kehidupan kita ini. Dengan menjadikan al-Qur’an sebagai “Way of Life”, maka setiap langkah kita dalam arena kehidupan ini akan selalu berada di bawah naungan dan bimbingan-Nya.
Di saat kita punya keinginan, punya cita-cita, punya harapan, kita jadikan Al-Qur’an sebagai petunjuk dan pedoman dalam kehidupan. Dengan panduan dan petunjuk-Nya, insya Allah kita tidak akan tersesat dari jalan-Nya.
2. Shalat malam dirikanlah
Bangun (shalat) Malam dapat menebus kesalahan, mencerahkan hati dan pikiran, serta menghilangkan pelbagai penyakit jasmani dan ruhani. Dengan shalat malam orang yang berdosa akan diterima tobat dan istighfarnya. Rasulullah Saw bersabda,”Sungguh pada malam hari ada satu waktu. Jika seorang Muslim memohon kebaikan kepada Allah agar diperbagus urusan dunia dan akhiratnya bertpatan dengan waktu tersebut, niscaya Dia (Allah) akan memberinya, Waktu tersebut ada pada setiap malam.” Rasulullah Saw bersabda pula,”Tuhan kita turun ke langit dunia setiap malam ketika seperdua malam telah berlalu. Dia berfirman,’Adakah yang berdoa kepada-Ku sehingga Aku mengabulkannya? Adakah orang yang memohon kepada-Ku sehingga Aku memberinya? Adakah yang memohon ampunan kepada-Ku sehingga Aku mengampuninya?”
Oleh karena itu mari kita berupaya untuk bangun pada sebagian malam seperti seorang hamba yang fakir dan hina, yang menyelinap di kegelapan malam untuk mengetuk pintu kamar tuannya. Kita berdiri di depan pintu dengan menghinakan diri, menunjukkan hati yang hancur, merasa lemah, mengakui dosa, dan merasakan kebutuhan yang amat sangat akan pemberian maaf dan kerelaan dai tuannya, sambil benar-benar mengharapkan rahmat, keridhaan dan Surga-Nya.
Waktu yang paling baik untuk bermunajat adalah ketika kita berduaan (khalwat) dengan Tuhan kita, sementara orang lain sedang terlelap. Yaitu waktu ketika seluruh alam sedang hening, malam telah melabuhkan tirainya, dan bintang-gemintang mulai redup cahayanya. Kita hadirkan hati kita, mengingat Tuhan kita, menyatakan kelemahan kita, dan keagungan Tuhan. Kita mengakrabi-Nya, merasa tenteram mengingat-Nya. Kita bahagia dalam mengharap keutamaan dan rahmat-Nya, menangis karena takut kepada-Nya. Kita khusyuk dalam berdoa, bersungguh-sungguh dalam memohon ampunan dan mengadukan segala kebutuhan kita kepada Dia yang sanggup melakukan apa pun. Kita mohonkan kepada-Nya apa pun dalam urusan dunia dan akhirat kita. Kita persembahkan kepada-Nya segala iktiar upaya kita.
Pada tengah malam kita berdiri, ruku’, bersujud, berzikir, bertasbih, membaca Al-Qur’an, bertobat, beristighfar, bermunajat, berdoa, dan menangis karena takut kepada Allah. Semua ini adalah bekal kehidupan mulia nan abadi. Allah Swt,”Wa minal laili fatahajjad bihii naa fi latallaka ’asaa ay yab atsaka robbuka maqoomam mahmuda.” ,”Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu, mudah-mudahan Tuhan-Mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.” (QS Al-Isra:79)
Pada kesempatan Shalat Tahajud, kita canangkan starting point diri kita untuk berubah. Tidak banyak orang yang mampu bangun pada dua pertiga malam, tidak banyak. Hanya orang-orang yang bertekad kuat untuk berubah lah dan orang–orang terpilih saja yang mau dan mampu untuk bangun mendirikan shalat tahajud. Sikap ini kita transformasikan ke dalam kehidupan sehari-hari. Kita mesti berubah hari ke hari, day to day, berubah menuju arah yang lebih baik, yang pedagang menjadi pedagang sukses, yang menjadi karyawan berubah menjadi karyawan berprestasi, yang menjadi pengusaha skala kecil berubah menjadi pengusaha skala besar. Tetapi perubahan itu semua harus dilandasi dengan perubahan prestasi ibadah kita agar perubahan dalam kehidupan kita menjadi penuh barokah dan Allah Ridho. Ini baru perubahan yang luar biasa!!!
3. Berkumpul dengan orang soleh
Maksud dari berkumpul di sini, bukan sekedar kumpul-kumpul yang tidak ada manfaatnya. Tetapi berkumpul di sini adalah kita bisa bergaul , berteman, bahkan bisa memperoleh ilmu dari orang-orang yang soleh. Orang-orang yang soleh adalah orang-orang yang senantiasa menggunakan hidupnya untuk selalu mendekatkan diri kepada-Nya. Termasuk di dalamnya adalah para ulama yang takut kepada Allah SWT. Dengan sering bergaul, berinteraksi, dan berdiskusi dengan mereka, maka selain menambah wawasan keislaman kita juga akan semakin membuat kita berusaha mengikuti jejak mereka untuk senantiasa bertaqarrub kepada-Nya.
Bagi pedagang, berkumpullah dengan pedagang yang soleh. Bagi Karyawan berkumpullah dengan karyawan yang soleh. Bagi pengusaha berkumpullah dengan pengusaha yang soleh.
Di saat bencana menimpa negeri ini, berkumpul dengan orang-orang soleh, dan memohon doa mereka supaya kita bisa bersabar menghadapi musibah ini adalah sebuah tndakan positif yang harus segera kita lakukan. Apalagi bagi kita yang sudah begitu banyak berlumuran dengan dosa, doa orang-orang yang soleh ini sangat kita butuhkan.

4. Perbanyaklah berpuasa
Puasa adalah sarana yang sangat baik bagi pengendalian diri kita. Dengan berpuasa kita akan mampu menahan gejolak nafsu yang senantiasa membujuk kita melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT. Syariat Islam menganjurkan kita untuk banyak melakukan puasa, karena dengan berpuasa kita bisa mengendalikan keinginan nafsu kita.
Keinginan untuk memperoleh sesuatu yang diluar jangkauan kita, akan bisa dikendalikan dengan berpuasa. Keinginan untuk menyeleweng, akan dikendalikan dengan latihan puasa.
Apalagi di saat musibah mendera negeri kita Indonesia ini, dibutuhkan banyak kesabaran dan kemampuan menahan hawa nafsu dari segenap penduduk bangsa ini. Dengan memperbanyak puasa, insya Allah berbagai musibah yang ada dapat disikapi dengan penuh kesabaran.
5. Dzikir malam perpanjanglah
Dzikir adalah upaya untuk selalu mengingat Allah SWT. Apalagi dzikir pada malam hari, di saat orang-orang terlelap dalam mimpi-mimpi yang indah, kita melakukan dzikir kepada-Nya, hal ini akan semakin mendekatkan batin dan hati kita kepada-Nya. Malam hari hari adalah waktu yang paling mustajab untuk memohonkan segala keinginan kita kepada Allah SWT. Dzikir yang kita ucapkan dengan ikhlas akan semakin membuat hati kita serasa sangat dekat kepada-Nya. Dengan hati dan batin yang tenang serta damai, insya Allah kita akan bisa menyikapi segala musibah yang ada dengan tawakal dan ikhlas.
Hadanallahu wa iyyakum ajma’in.
Danu Kuswara. / Cerah Hati INstitute / Jakarta 18 Mei 2009
Bahan Siaran Inspirasi Spiritual ”The Power of Peace” di Radio Bahana 101.8 FM tgl. 18 Mei 2009.

Senin, 11 Mei 2009

“ANAK JALANAN” KESEPIAN DI KERAMAIAN

anak jalanan kumbang metropolitan
selalu ramai dalam kesepian
anak jalanan korban kemunafikan
selalu kesepian di keramaian

tiada tempat untuk mengadu
tempat mencurahkan isi kalbu
cinta kasih dari ayah dan ibu
hanyalah peri yang palsu

anak perawan kembang metropolitan
selalu resah dalam penantian
anak perawan korban keadaan
selalu menanti dalam keresahan

tiada restu untuk bertemu
restu menjalin hidup bersatu
kasih sayang dari ayah dan bunda
hanyalah adab semata

tiada waktu untuk bertemu
waktu berkasihan dan mengadu
karena orang tua metropolitan
hanyalah budak kesibukan ..
anak gedongan lambang metropolitan
menuntut hidup alam kedamaian
anak gedongan korban kesibukan
hidup gelisah dalam keramaian

Ketika saya sedang berkendaraan mendengarkan lagu, lagu Anak Jalanan ini tiba-tiba menyentuh rasa penasaran saya. Saya ulang dan ulang lagi. Padahal lagu ini sudah sering saya dengar, mungkin kalau saya tidak keliru ingat, waktu di SMA dulu. Tetapi kali ini memiliki makna yang berbeda. Dalem banget rasanya kali ini., sehingga saya putuskan untuk menjadi bahan siaran saya.
Secara simultan belakangan ini saya membaca berita, menonton televisi, bahkan membaca e-mail dari teman-teman, atau yang sekedar sharing, umumnya masalah yang beredar adalah masalah atau problematika rumah tangga. Ingat beberapa bulan lalu ketika ada berita penggerebekan klinik yang melakukan aborsi? Ada satu momen dimana sebuah televisi swasta menayangkan wawancara dengan seorang pemudi pelaku aborsi, yang sudah tiga kali aborsi dan pertama kali aborsi ketika ia berusia enam belas tahu. Nauzubillah min zalik. Atau berita seseorang yang terkapar tak bernyawa karena overdosis narkoba? Lagu Chrisye Anak Jalanan seolah mewakili dengan ringkas realitas yang ada di masyarakat kita, tidak saja pada waktu lagu tersebut pertama diperdengarkan , melainkan juga hingga saat kini.
Saya ingin menyorot dari sisi keluarga. Keluarga mana sejatinya yang ingin anak-anaknya menjadi korban overdosis narkoba? Keluarga mana yang ingin anak gadisnya hamil diluar nikah kemudian berkali-kali aborsi, bahkan banyak yang meninggal. Keluarga mana yang ingin anaknya melarikan diri dari rumah kemudian hidup di jalan. Tentu saja tidak ada. Kita semua tentu saja menginginkan memiliki keluarga yang bahagia, anak-anak yang soleh solehah, sehat jasmani rohani, cerdas, pintar, sopan dan semua-semua yang ideal sifatnya.
Tetapi bagaimana halnya contoh-contoh peristiwa tidak ”menyenangkan” tersebut ternyata terjadi dalam keluarga kita? Mudah-mudahan tidak. Yang terjadi pada keluarga orang lain sudah semestinya menjadikan hal tersebut sebagai contoh untuk kita bisa menghindarinya. Kita jadikan pengalaman yang terjadi pada seseorang sebagai guru kehidupan, agar kita bisa membangun dan menata kehidupan keluarga menjadi keluarga sakinah, mawadah dan warohmah.
Sejenak kita menyimak firman Allah Swt di dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim:6,”Yaa ayyuhalladziina ’aamanuu quu anfusakum wa ahliikum naa roo.””Wahai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” Firman Allah ini merupakan sebuah ”Surat Tugas” kepada kita, khususnya kaum Bapak, agar kita memeilhara dengan segala daya dan upaya agar keluarga kita dapat menempuh jalan kehidupan di dunia ini, selamat, bahagia, sukses, sejahtera, baik di dunia dan akhirat. Kemudian sebagian ada yang bertanya, caranya bagaimana?
Di dalam surat Al-An’am ayat 162 Allah berfirman yang artinya,”Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.” Jadi apa pun ikhtiar kita, aktifitas kita tertuju untuk kepada Allah semata. Apabila kita bekerja, maka dari niat, ikhtiar hingga hasil pekerjan kita, tertuju untuk unjuk pengabdian kepada Allah Swt. Begitu pun dengan keluarga yang kita miliki. Kita pelihara keluarga kita, kita didik anak-anak kita dengan pendidikan yang baik, dengan dilandasi pendidikan agama yang baik, kita cermati dan jaga pergaulannya, kita beri mereka nafkah yang halal, kita perkenalkan mereka dengan saudara-saudara mereka yang berada di panti asuhan yatim piatu, kita pimpin mereka untuk shalat berjamaah.
”Kita kan suami istri sibuk bekerja Kang, mana ada waktu buat ngurusin seperti itu.” Demikian yang sering orang katakan kepada saya. ”Paling kita ”nitipin” anak kita sama pengasuh, kan mereka bisa bantuin kita mulai dari memandikan anak kita, menyediakan sarapan hingga makan malamnya, mengantar sekolah bersama supir, mengantar les atau bimbel. Yah, paling kita bisa ngumpulnya Sabtu atau Minggu, itu juga kalau nggak ada pekerjaan tambahan. Dan yang penting, semua kebutuhannya kan kita bisa penuhi.” Demikian yang sering dikatakan.
Saya teringat akan sebuah kisah yang dikirimkan seorang sahabat kepada saya beberapa waktu lalu tentang sebuah keluarga yang kedua orang tuanya sibuk dengan pekerjaan hingga kehilangan ”mutiara” terbaiknya.
Sebut saja Ibu Mawar. Ia dan suami yang merupakan pasangan muda, usia 30 tahun-an, sedang menikmati buah manisnya perjalanan karir mereka yang terus menanjak. Mereka memiliki dua anak, yang pertama laki-berusia delapan tahun sudah kelas tiga SD, yang kedua perempaun, namanya Melati berusia empat tahun dan masih di TK. Sebagai anak bungsu perempuan, Melati memang manja, setiap pagi selalu berkata,”Mama, mama, mandikan Melati ya Ma, aku pingin dimandikan sama Mama.” begitu yang hampir setiap pagi Melati katakan kepada Ibunya. ”Aduh Melati, Mama sibuk harus berangkat pagi-pagi, nanti Melati mandi saja sama Bibi ya.” Di lain kesempatan Melati berkata,”Mama, bikinkan aku telor ceplok ya, aku pingin makan telor ceplok buatan Mama,””Aduh Melati, Mama nggak ada waktu, nanti Bibi aja yang buatkan ya.”Jawab Ibu Mawar selalu saja menghindar.
Suatu kali Melati berkata kepada Ibunya,”Mama, Melati pingin deh Mama yang mengantar Melati ke sekolah, seperti teman-teman yang lain.””Waduh Melati, Mama kan harus kerja, mana sempat.”demikian jawab Bu Mawar berulang kali. Dan bahkan pada hari Sabtu pun Ibu Mawar tidak mengantar Melati ke sekolah, capek alasannya.
Praktis tugas Ibu Mawar dikerjakan oleh si Bibi, apakah itu memandikan, menyiapkan sarapan, mengantar ke sekolah, mengantar ke TPA, hingga menemani tidurnya, semua dilakukan oleh si Bibi. Maklum Bu Mawar sering pulang setelah Melati sudah pergi tidur. Bahkan pula, bepergian bersama keluarga di hari libur sudah lama tidak dilakukan, sibuk alasannya, capek alasannya.
Suatu hari Bu Mawar mendapat telepon dari si Bibi yang mengabarkan bahwa Melati badannya panas ”Sudah kamu berikan saja obat penurun panas, tuh ada kan di lemari obat.” kata Bu Mawar singkat. Ternyata sakit panas Melati sudah berlangsung selama tiga hari. Dan selalu jawaban yang sama diberikan oleh Bu Mawar kepada si Bibi. Di hari ketiga di siang hari itu kembali si Bibi menelepon Bu Mawar memberitakan Melati yang masih panas.”Bi, nanti kalau sampe sore tetap panas, kamu pergi sama sopir ya ke dokter langganan, saya ada rapat denga klien sampe malam.”Dengan ringan Bu Mawar menugaskan kepada si Bibi. Dan rupanya sejak siang sampai malam sekitar jam sembilan tidak ada telepon lagi dari si Bibi. Mungkin Melati sudah turun panasnya, pikir Bu Mawar.
Ketika Bu Mawar bersama suami pulang jam sembilan, si Bibi membukakan pintu sambil menangis bersama anak laki-laki Bu Mawar. Ada apa gerangan kok pada menangis.”Ada apa Bi kok pakai nangis segala?” kata suami Bu Mawar. ”Neng Melati Bu, Neng Melati...”jawab si Bibi susah untuk berkata-kata.”Kenapa Melati Bi?” Kata Bu Mawar. Meraka bergegas masuk ke kamar Melati. ”Maaf Bu, saya nggak berani menelepon Ibu, saya takut Bu.” Bu Mawar beserta Suami menguncang-guncang tubuh Melati yang sudah terbujur kaku. Pecahlah tangisan keras Bu Mawar dan Suami.
Jakarta, 11 Mei 2009
Danu Kuswara/Cerah Hati INstitute
Bahan siaran inspirasi spiritual ”The Power of Peace” di Radio Bahan 11 Mei 2009.

Minggu, 03 Mei 2009

ADA SAJADAH PANJANG TERBENTANG,…

ada sajadah panjang terbentang
dari kaki buaian
sampai ke tepi kuburan hamba
kuburan hamba bila mati
ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan sujud
diatas sajadah yang panjang ini
diselingi sekedar interupsi
mencari rezeki mencari ilmu
mengukur jalanan seharian
begitu terdengar suara adzan
kembali tersungkur hamba
ada sajadah panjang terbentang
hamba tunduk dan rukuk
hamba sujud tak lepas kening hamba
mengingat Dikau sepenuhnya
Bimbo kembali melantunkan syair dari Bp. Taufik Ismail, yang pada kali ini mengisahkan tentang kepatuhan seorang hamba ketika panggilan Tuhannya memanggil menggema.
Pada bait pertama digambarkan bahwa yang dimaksud dengan sajadah panjang terbentang adalah seluruh permukaan bumi terhampar sebagai tempat kita sebagai hamba Allah untuk beribadah. Apakah bila kita berada di Jakarta, di Papua, di Baghdad aatau di Tokyo sekali pun, permukaan bumi disana terhampar untuk bagi kita tetap diharuskan menegakkan shalat. Kewajiban bagi seorang hamba Muslim untuk menegakkan shalat adalah sampai dia tiba saatnya untuk dishalatkan atau maut telah menjemput. Sungguh sebuah ungkapan puitis yang indah ditorehkan oleh Bp. Taufik Ismail menerjemahkan “Aqimis shalah.”
Pada artikel saya yang lalu, saya menulis, bahwa kita sebagai manusia, seringkali “menyuruh” Allah untuk menunggu bila panggilan shalat telah bergema. Tunggu ya, saya sedang ada klien, tunggu ya, saya sedang makan, tunggu ya, saya sedang berkendaraan. Panggilan untuk shalat adalah panggilan untuk meraih kemenangan dan kesuksesan, “…hayya alas shalah, hayya alal falah.” Mendirikan shalat adalah sebuah proses tindakan penting yang harus dilalui dan dijalani apabila seseorang ingin meraih kemenangan dan kesuksesan.
Kita diingatkan oleh lewat lagu ini agar apabila panggilan azan sudah bergema, untuk meninggalkan segala aktifitas yang ada. Panggilan Allah kepada kita untuk menuju kemenangan, untuk meraih kesuksesan. Kita tumpahkan segala pengharapan diri kita kepada Allah Swt. Kita tunjukkan bentuk penyerahan diri yang totalitas kepada-Nya. “Inna Sholati wa nusuki wa mahyaya wa mamati Lillahi Robbil ‘Alamin.”
Beberapa waktu belakangan ini, banyak teman dan sahabat datang kepada saya menceritakan berbagai permasalahan yang dihadapi. Ada masalah rumah tangga yang gonjang-ganjing, ribut melulu antara suami dan isteri, ada konflik dengan keluarga Suami dan sebaliknya, ada masalah dengan anak yang ditangkap polisi karena terjaring razia narkoba, ada yang bermasalah dengan usahanya. Usahanya memang sedang banyak order, tetapi masalah juga datang tidak kalah sedikitnya, sehingga hitung punya hitung, ketika melihat ujung neraca keuangan, impas, untung enggak, rugi enggak, capek.
Tapi diantara yang bercerita kepada saya, ada salah seorang diantaranya yang membuat saya terharu dan kemudian kagum, karena ia berikhtiar kuat menyelesaikan masalah rumah tangganya dengan cara istiqomah dalam menjalankan ibadah.
Sebutlah namanya Ibu Anita, tinggal di Bandung, bekerja di sebuah perusahaan swasta. Sekian tahun yang lalu, ia memulai ceritanya, ia menikah ketika baru menyelesaikan kuliahnya. Bertahun-tahun ia mengayuh bahtera keluarganya, hingga dikarunia tiga orang anak laki-laki. Seperti kita biasa, dalam mengarungi samudera rumah tangga, ada saja bumbu berupa percekcokan, tetapi kemudian baik kembali. Tetapi di tahun 2005, keutuhan rumah tangganya tidak bisa dipertahankan lagi. Jadilah Ibu Anita berpisah dengan memboyong ketiga anaknya. Ketika saya tanya,”apa penyebab cerainya.””Biasalah.”jawabnya pendek. Memang sejak dahulu Ibu Anita saya kenal pandai menjaga rahasia keluarganya. Itu kan aib, “enggak” baik diceritakan kepada orang lain.
Dua tahun kemudian, di tahun 2007, Ibu Anita menikah lagi. Tetapi baginya pernikahan yang diharapkannya menjadi pengobat luka hatinya, menjadi penggibur duka laranya, ternyata tidak. Kembali Ibu Anita tidak menceritakan sebabnya. Tetapi yang dia tidak tahan untuk mengatakan bahwa,” Aku cape kerja, lelah, aku pingin bahagia, aku ga’ mau menyesali apa yang sudah terjadi, tapi toh itu semua ga’ mungkin terlupakan karena tetap menjadi bagian hidup. Di tip ex pun tetap terlihat dan teraba. Ya...mungkin terhibur dengan kesibukan kerja dan menghabiskan waktu di kantor. Mau “menghilang” bukan keputusan baik karena tanggung jawabku pada “kids” yang tergantung padaku. Kang, beberapa kali aku berfikir ingin melompat saja dari jembatan jalan Tol, tapi aku tetap bertahan untuk menghadapi hidup ini.” Kali ini Ibu Anita pecah tangisnya. Subhanallah, tanpa ia bercerita pun saya kiranya dapat merasakan , betapa beratnya masalah rumah tangga yang sedang dihadapinya
Ada satu hal yang membuat saya surprise bila berbincang dengan Ibu Anita di telepon, ia mendahului dengan berucap,”Assalamu’alaikum.” Hal yang tidak pernah saya dengar sekian tahun yang lalu. Mestilah, saya pikir, ada sesuatu yang berubah. Beberapa kali ketika berbincang, bercerita via telepon, dia minta izin untuk berhenti dulu karena waktu shalat sudah tiba. Subhanallah.
Selama bercerita, Ibu Anita tidak mau menceritakan masalah apa saja yang dihadapinya selama berkeluarga. Dia hanya minta pandangan saya bagaimana caranya agar bisa diberi kemampuan dan kekuatan untuk menghadapi permasalahan yang dihadapinya. Saya bertanya,”apa saja yang sudah dilakukan agar bisa memiliki kemampuan dan kekuatan untuk itu?” “Kang, saya berdoa dengan sepenuh hati disetiap shalat wajib dan tahajud saya. Saya minta kepada Allah untuk diberi kemampuan dan kekuatan untuk bisa menghadapi ini semua. Saya “ditemani” oleh sajadah, mengadu kepada Allah mengenai masalah hidup saya. Sajadah itu menjadi “teman” dan saksi saya di kala air mata saya mengalir di malam-malam tahajud saya ”
“Betul, itu sudah betul. Berarti kita sudah tahu kemana kita menyandarkan diri, kemana kita memohon petunjuk dan bantuan. Yang celaka adalah bila kita ketika sedang menghadapi masalah, sedang menghadapi kemelut hidup, apakah itu masalah keluarga, masalah bisnis, masalah penyakit yang berkepanjangan, masalah hutang yang bertumpuk, dll, kita tidak tahu harus kemana mencari tempat untuk menyandarkan diri, tempat untuk memohon bantuan, bisa-bisa terpeleset ke lembah kemusyrikan, mencari dukun, mencari paranormal dsb.
Lalu saya tambahkan,”Itu baru hablum minAllah. Ibarat orang pakai sepatu, kurang lengkap kalau hanya ber hablumminAllah, ikhtiar juga dong dengan ber hablumminannas. Apa itu? Ya berinfaq, menyantuni anak yatim, berbagi dengan fakir miskin. Kan Rasulullah pernah berpesan, sayangi yang di muka bumi, maka yang di langit akan menyayangi kamu.””Insya Allah, akan saya jalankan,”kata Ibu Anita menutup pembicaraannya.
Satu hal penting tentang ibu Anita dalam pandangan saya, ia baru menjadi Muslim ketika ia kuliah. Subhanallah.
mencari rezeki mencari ilmu , mengukur jalanan seharian
begitu terdengar suara adzan , kembali tersungkur hamba
ada sajadah panjang terbentang ,hamba tunduk dan rukuk
hamba sujud tak lepas kening hamba
mengingat Dikau sepenuhnya

Jakarta, 4 Mei 2009
Danu Kuswara
Cerah Hati Institute
021-27953797, 08129116242