Minggu, 29 Maret 2009

AIR MATA SITU GINTUNG, AIR MATA KITA

Tiba-tiba saja pada hari Jum’at tanggal 27 Maret lalu kita dikejutkan oleh suatu peristiwa yang memilukan hati yang terjadi tidak jauh dari tempat tinggal kita, di Ciputat, sebelah selatan Jakarta. Sebuah situ atau telaga yang selama ini menjadi tempat banyak orang untuk berwisata secara tidak terduga jebol tanggulnya. Akibatnya, air sebanyak sekitar dua juta kubik tumpah mengalir deras mengahntam apa saja yang dilaluinya.

Sewaktu melihat tayangan dari stasiun-stasiun TV, kondisi wilayah yang tersapu gelontoran air situ, mirip seperti peristiwa tsunami. Rumah-rumah yang hancur, pohon-pohon bertumbangan, kendaraan ada yang terbalik, hanyut, ada juga yang nyangkut di pohon atau pagar, dan yang paling memilukan adalah para korban saudara-saudara kita. Jumlah korban terdeteksi terus bertambah setiap jamnya, dan bahkan sejumlah besar lainnya belum ditemukan. Hingga hari ini tim SAR terus berupaya mencari korban hilang yang belum ditemukan.

Bagi saudara-saudara kita yang menjadi korban, kita mendoakan mereka semoga Allah memberi mereka ampunan, Rahman dan Rahim-Nya. Dan bagi saudara-saudara kita yang kehilangan suami, istri, bapak, ibu serta anak-anaknya, juga kerabatnya, semoga diberikan kesabaran, ketabahan dan kekuatan.

Pada peristiwa musibah ini, tidak pada tempatnya kita saling menyalahkan siapa yang bersalah dan siapa yang harus bertanggung jawab. Lebih baik dan terpuji, apa yang kita bisa perbuat untuk membantu saudara-saudara kita yang sedang kemalangan ini. Apabila ada yang, maaf, secara sinikal (sinis) yang mengomentari kehadiran para caleg dan parpol yang membuka posko disana, saya sih berpikir tidak mengapa, toh membuka posko juga mengorganisir bantuan. Masalah niat, biarlah mereka saja yang tahu.

Yang sepatutnya kita lakukan pada saat-saat ini adalah apa yang bisa kita perbuat untuk membantu meringankan derita saudara-saudara kita itu? Bagi yang sedang lemah terbaring sakit, mari kita bantu dengan doa. Ada yang mampu secara tenaga, kita bantu dengan tenaga. Ada yang mampu secara finansial, kita bantu secara finansial. Yang punya kemampuan mengorganisir, bantu mengorganisasikan bantuan dengan mengerahkan semua daya lewat kantor kita, lewat Masjid kita, Majelis Taklim, Remaja Masjid, lewat PKK kita dan sebagainya.

Memang Allah telah menetapkan, bahwa Allah akan menguji kita dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Siapakah orang-orang yang sabar itu? Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata, “inna lillahi wa inna ilahi raji’un.”(sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).(Al-Baqarah 155-156).

Sebagian dari saudara-saudara kita sepertinya sedang diuji kesabarannya. Dan semoga pula mereka lolos dari ujian tersebut. Kita bantu mereka dengan menguatkan mental dan batin mereka agar mereka kuat dalam menghadapi ujian berat ini.

Dan bagi kita yang lain, mungkin musibah ini bisa menjadi satu kesempatan untuk memperkuat solidaritas kita, ukhuwah kita. Kita bangun rasa kepedulian kepada saudara-saudara kita yang sedang kemalangan. Kita bangun silaturahmi kita. Mungkin saja, karena kesibukan kita sehari-hari, kita lupa menjalin silaturahmi, kita agak lupa bahwa masih banyak diantara saudara-saudara kita yang masih membutuhkan pertolongan, karena kondisi mereka yang serba kekurangan. Mari kita manfaatkan setiap waktu kita dan setiap kesempatan yang ada untuk memperbaiki diri, meningkatkan amal soleh, banyak-banyak berbuat untuk membantu saudara kita yang sedang membutuhkan pertolongan.

Mari kita hapus air mata saudara-saudara kita yang ada di Situ Gintung, kita hapus duka mereka.

Danu Kuswara
Pondok Kelapa 30 Maret 2009.

Minggu, 22 Maret 2009

YANG INGIN MELEPASKAN DIRI DARI ORANG TUA

Minggu lalu seseorang menelepon saya berinteraktif dengan maksud untuk meminta pendapat saya. “Kang...,seingat saya orang tua saya tidak mengurus saya, dari kecil hingga saya dewasa, saya merasa mereka tidak pernah mengurus saya. Saya ingin cepat-cepat menikah saja biar cepat lepas dan bebas dari mereka. Bagaimana pendapatnya Kang?” “Mba’, menikah dan mengurus atau berbuat baik kepada orang tua itu dua hal yang berbeda. Menikah adalah sebuah sunnah Rasulullah. Menikah merupakan sebuah keputusan penting dalam hidup seseorang yang hendaknya diambil bukan karena sebuah keadaan yang mendesak, untuk menghindari dari sesuatu keadaan, melainkan sebuah komitmen penting dan serius, tidak main-main. Sedangkan berbuat baik kepada orang tua adalah langsung perintah Tuhan yang bila tidak kita kerjakan akan menjadikan kita sebagai seorang yang amat berdosa.” Jawab saya.

Saya menyambung lagi,”walau pun seluruh materi yang kita kumpulkan seumur hidup kita, lalu kita berikan kepada orang tua kita, tidak akan pernah terbalas jasa baik mereka kepada kita. Mereka, terutama Ibu kita, telah berpayah-payah mengandung dan melahirkan kita, dan kemudian menyusui. Berbuat baik saja semampu dan sekuat Anda, walau pun Anda merasa orang tua Anda tidak pernah mengurus Anda, karena sesungguhnya pahala kebaikan itu akan kembali kepada Anda.”

Malamnya, ketika sudah sampai di rumah seraya menyandarkan kepala ke kursi, saya mengingat-ingat sebuah hadits Rasulullah SAW. Salah seorang sahabat datang dan berkata,”Wahai Nabi, sungguh ibuku telah pikun lantaran tua. Akulah yang beri makan minum dengan tanganku. Aku pun mewudhuinya, mengangkatnya di atas bahuku. Sudahkah aku bayar semua jasa-jasanya untuk yang demikian itu?” “Belum,”jawab Rasulullah,”Sedikit pun belum. Bahkan satu persen sekali pun. Namun engkau telah berlaku baik. Allah akan memberimu pahala yang banyak atas amalmu yang sedikit itu.”

Dalam sekali penilaian Rasulullah perihal besarnya jasa orang tua khususnya seorang ibu. Dan betapa besar pula pahala berbakti kepadanya. Seorang ibu dengan sungguh-sungguh telah berkorban demi kita, anaknya. Sebagai manusia kita sudah semestinya memahami semua pengorbanannya itu. Rasulullah SAW memberikan perbandingan untuk menunjukkan seberapa besar jasa orang tua khususnya ibu. Ketika ada seorang sahabat yang merasa telah melakukan pekerjaan yang sangat besar jasanya kepada ibunya, Rasulullah menyatakan itu semua belum cukup. Kita bisa membayangkan betapa berbaktinya seorang anak yang memelihara ibunya pada masa tuanya.

Ia memberikan makan dan minum, menggendongnya kesana kemari untuk berbagai keperluan termasuk shalat dan thawaf. Apakah ada di zaman sekarang anak yang berbuat demikian kepada ibunya. Maaf, paling banter seseorang akan menyuruh atau membayar orang lain untuk mengasuh bapak atau ibunya. Untuk keperluan sehari-harinya ia menyediakan seorang perawat atau suster untuk mengurusnya. Jika bapak ibunya ingin melakukan thawaf ia cukup membayar tenaga bayaran untuk melaksanakannya.

Apabila kita renungkan secara mendalam, yang langsung anaknya sendiri merawat ibunya saja belum cukup untuk membalaskan jasanya. Apalagi yang cuma membayar orang. Tetapi walau pun demikian, Rasulullah memberikan motivasi, bahwa apa-apa yang telah dilakukan seorang anak dalam berbakti kepada orang tuanya, terutama kepada ibunya akan diberi ganjaran oleh Allah SWT dengan pahala yang besar. Meskipun dibanding jasa ibu, perbuatan anak tersebut belum ada apa-apanya, namun pahalanya besar.

Apabila pahala seorang anak yang berbakti kepada orang tua, meski pun sedikit, sudah mendapatkan pahala sedemikian besar, apalagi dengan pahala untuk seorang ibu yang jasanya jauh lebih besar. Seorang ibu yang ikhlas mengandung, melahirkan, memelihara dan membesarkan anaknya akan mendapatkan pahala yang jauh lebih besar dari pahala bakti seorang anak. Begitu besar jasa seorang ibu, begitu besar pula pahala seseorang anak yang berbakti kepadanya.

Mengenai bagaimana sikap anak berbakti kepada oarang tuanya, mari kita belajar dari kisah seperti yang dituturkan oleh teman saya, sebutlah namanya Azizah. Azizah menceritakan tentang seorang sahabatnya yang bernama Fitri yang baru saja menelponnya. Fitri bercerita kalau sekarang ibunya seringkali berkunjung ke rumahnya dengan berbagai alasan. Kangen kepada cucu lah, minta bantuan biaya untuk kuliah adiknya lah, sampai ingin mengganti kacamata baru pun pasti selalu meminta bantuannya.

Menurutnya sih wajar-wajar saja, karena Fitri adalah anak perempuan paling besar dan termasuk yang paling mapan di antara saudara-saudaranya. Sedangkan ayahnya hanya seorang pensiunan pegawai negeri biasa di kota Bandung, yang tidak mencukupi kebutuhan anak-anaknya yang masih usia sekolah. Tapi menurut Fitri, ibunya sudah cukup sering “mengganggu” keharmonisan keluarganya. Karenanya, dia merasa sungkan dengan suami dan keluarganya. Masalahnya, Fitri tidak mempunyai penghasilan sendiri.

Setelah merenungi curhat temanku itu, kata Azizah, aku pun jadi malu sendiri. Sekarang aku diamanahi kakak-kakak ku untuk merawat ibu yang sudah tua (75 tahun). Secara fisik beliau kuat, tapi sudah pikun atau menurut bahasa sekarang namanya demensia. Azizah berumah tangga sudah hampir sepuluh tahun, ibunya jarang sekali mengunjunginya apalagi merepotkannya. Azizah tinggal di Bogor dan ibunya di Bandung, dan ia anak bungsu, yang masih belum dipercaya untuk merawat orang tua. Tapi karena pengasuh yang biasa menemani ibunya di Bandung minta berhenti, sedangkan semua kakaknya bekerja, akhirnya mereka mau tidak mau menitipkan ibunya tinggal bersama Azizah.

Azizah masih ingat di saat ibunya secara fisik masih sehat, ibunya menjadi rebutan kakak-kakaknya untuk merawat anak-anaknya yang masih balita, memasakkan makanan kesukaan mereka, dan mengajari para menantunya menata rumah. Selain itu, ibunya juga diminta menjaga rumah mereka ketika para pembantunya pulang. Sampai-sampai Azizah yang ketika itu masih kuliah terpaksa tinggal di kos-kosan teman pengajian karena di rumah sepi, ditinggal ibu terus.

Tapi sekarang, ketika ibunya yang sudah kembali seperti anak kecil, sebagian besar kakaknya keberatan untuk tinggal bersama ibu. Padahal, para menantu perempuan ibunya yang dulu keteika mereka kuliah dan bekerja, ibulah yang merawat anak-anak mereka dari mulai mereka bayi sampai bersekolah di sekolah dasar.

Walau pun dalam kondisi pikun, ibunya Azizah masih tetap ingat nama anak menantunya, masih shalat walau pun rakaat dan waktunya suka salah-salah. Mengajinya masih lancar, masih menjaga kebersihan badannya. Hanya kalau diajak mengobrol, yang dia ingat hanya masa-masa bahagia dengan almarhum Bapak di perkebunan teh dan kelapa sawit. Ibunya pun senang menyapa setiap orang yang ditemuinya karena memang ibunya ramah dan banyak teman, sehingga mungkin merasa dia mengenal orang tersebut.

Awalnya Azizah merasa risih dan malu kalau mengajak ibunya bepergian. Namun suaminya selalu mengingatkan, kenapa harus malu, toh ibunya masih menutup auratnya dengan rapi, masih sopan ktika berbicara dengan orang, masih bisa shalat dan mengaji, dan banyak hal-hal positif lainnya yang masih mampu dilakukan meski pun ibunya sudah pikun. Kata suaminya, biarkan saja orang yang mentertawakan atau meremehkan ibunya. Mereka tidak pernah bisa menebak apa yang akan terjadi dengan orang tua mereka atau bahkan mereka sendiri ketika tua akan seperti apa, tidak ada yang bisa menjaminnya. Hanya Allah SWT yang tahu apa yang akan terjadi dengan kondisi kita ketika kita sudah tua nanti.

Bila kita jujur, memang terasa cukup berat untuk merawat orang tua yang sudah pikun. Butuh kesabaran ekstra dan kerjasama yang kompak antar keluarga. Bagaimana pun, dengan kehadiran orang tua di tengah-tengah keluarga inti akan sangat mempengaruhi keharmonisan hubungan suami istri maupun antar orang tua dan anak. Yang biasanya perhatian kita hanya tertuju kepada pasangan dan anak-anak, kini harus berbagi untuk memberikan perhatian ekstra pada orang tua kita.

Belum lagi “perilaku”nya yang seperti anak-anak, misalnya jika ingin sesuatu harus segera dituruti, jika diberitahu cepat marah dan tersinggung. Mungkin ketika kecil dulu kita pun seperti itu. Tapi Subhanallah, ibu kita tidak pernah mengeluhkan semua kerepotannya, sedangkan kita akan merasa jengkel dan kesal jika orang tua kita melakukan hal-hal yang mengganggu kerapihan dan kebiasaan-kebiasaan di rumah kita.

Pada akhirnya, kita memang harus mentafakuri kembali ayat-ayat Al-Qur’an tentang perilaku kita kepada orang tua kita, terutama ibu yang sudah bersusah payah mengandung, melahirkan, menyusui, dan mebesarkan kita dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan. Sebagai bahan perenungan, coba kita lihat kembali kandungan Al-Qur’an surat Luqman (31) : 14,”Dan kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah menngandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.”

Danu Kuswara
Muhajirin Learning Center (Dakwah, publishing, training & consultancy)
Perkantoran Yayasan Wakaf Al-Muhajirin
Komplek Billy Moon Pd. Kelapa Kalimalang, Jakarta 13450
021 8649806 – 021 27953797 - 08129116242

Minggu, 15 Maret 2009

TSUNAMI ABORSI; MARI KITA JAGA ANAK KITA DARINYA

Beberapa minggu belakangan ini kita digelontorkan liputan bersambung-sambung mengenai terbongkarnya praktek aborsi, dari yang ada di kawasan Tanjung Priok dan hingga yang ada di Percetakan Negara. Terbongkarnya praktek aborsi yang sudah dijalankan selama bertahun-tahun, dengan leluasanya, hanyalah seperti fenomena gunung es. Yang tampak kepermukaan hanyalah terlihat kecil, sedangkan realitas sesungguhnya amatlah besar. Maksudnya, praktek aborsi yang terjadi pada kenyataannya mungkin jumlahnya, puluhan malah bisa jadi ratusan?

Yang menarik perhatian saya, adalah ketika sebuah stasiun TV Swasta menayangkan sebuah wawancara dengan seorang remaja putri pelaku aborsi. Ketika ditanya oleh sang reporter,”...sudah berapa kali melakukan aborsi?” Dengan ringannya si remaja putri menjawab,”...sudah tiga kali.” Masya Allah, saya mengernyitkan dahi, sambil mengelengkan kepala mendengar itu. “Kenapa kamu melakukan aborsi?”Si reporter melanjutkan tanyanya. “Takut membuat malu orang tua. Ayah saya adalah seorang tokoh masyarakat terkenal.”jawab si remaja putri. Kemudian si reporter melanjutkan pertanyaannya,”...boleh tahu tidak, pada umur berapa kamu pertama kali aborsi?””...pada umur enam belas tahun.”jawab si remaja putri menjawab juga dengan nada ringan.”

Serasa disambar petir hati saya, bergemuruh kencang. Bagaimana tidak? Ada anak usia berumur enam belas tahun sudah melakukan aborsi. Itu baru dari hasil berhubungan yang jadi janin. Yang tidak jadi? Jangan ditanya. Si remaja tadi sudah melakukan aborsi tiga kali. Kalau saja dia tiap tahunnya aborsi, kan berarti usianya delapan belas tahun. Secara lurus saja kita bisa menyimpulkan, selama tiga tahun itu berapa kali dia sudah berhubungan? Saya tidak sanggup lagi melanjutkan pertanyaan-pertanyaan itu dengan jawabannya.

Kasus remaja putri tadi boleh jadi satu dari sekian ribu kasus serupa yang terjadi di negara kita, terjadi setiap hari sepanjang tahun. Dan setiap tahun bukannya menurun tetapi mungkin saja semakin meningkat.
Yang menjadi fokus perhatian saya adalah letak atau dimana posisi orang tua dalam mendidik, dalam membina anak-anak, sehingga anak terperosok kedalam lembah pergaulan bebas, jeratan narkoba dsb.

Gerbang bagi anak untuk tersesat ke dalam pergaulan bebas memang banyak jalannya. Mulai dari kedua orang tua yang sibuk sehingga kurang sekali waktu yang disediakan untuk anak-anaknya, sehingga anak kemudian mencari sendiri lingkungan yang dianggapnya bisa menyenangkan hatinya. Lalu keluarga yang “broken home”, yang mana sudah banyak kita saksikan korbannya adalah anak yang tidak terurus secara fisik mau pun perkembangan mentalitasnya. Dan ini bukan hanya terjadi di sinetron. Yang lainnya, ini hanya satu faktor dari sekian banyak faktor, adalah pengaruh dari serbuan budaya konsumerisme. Keinginan untuk memperoleh apa-apa yang diiklankan oleh media massa cetak dan elektronik, diperoleh dengan mengerahkan berbagai cara, yang penting dapat, tak perduli apakah cara itu halal atau tidak, dengan cara benar atau tidak.

Cara bagaimana seseorang mendidik anak, dari keadaan anak yang berkelakuan luar biasa nakalnya, berubah seratus delapan puluh derajat menjadi anak yang soleh, mari kita belajar dari kisah yang dituturkan oleh seorang kenalan saya.

Sebutlah seseorang itu Pak Syamsul, memiliki lima orang anak, salah satunya perempuan, anak kedua, yang bernama Dewi. Dewi ini ketika itu masih bersekolah di SMP di bilangan Depok. Dewi masuk kategori luar biasa, bukan dari prestasi sekolahnya, tetapi dari sisi kelakuannya yang minta ampun nakalnya, melebihi nakalnya anak laki-laki. Salah satu bentuk betapa nakalnya adalah ketika ia minta dibelikan pulsa untuk HP nya kepada salah seorang temannya, temannya itu tidak mau membelikan, maka temannya yang laki-laki itu ditampar. Anak perempuan menampar anak laki-laki dan anak laki-laki itu tidak berani melawan, bisa kita bayangkan betapa seperti apa ya sosok Dewi itu.

Itu masih ditambah dengan suka malak teman, baik perempuan mau pun laki-laki. Benar-benar seperti preman anak ini, begitu yang dikatakan pak Syamsul kepada saya. Anaknya memang dari kecil pemberani, bawaannya nakal. Walau pun demikian orang tua Dewi alias Pak Syamsul dan istri bukanlah orang tua yang broken home. Keluarga normal saja, dimana Pak Syamsul sendiri adalah seorang pegawai sebuah Bank Swasta di Jakarta. Dewi ini merupakan anak yang berbeda sama sekali dari lima bersaudara tadi.

Teguran dan panggilan dari sekolah kepada orang tuanya sudah berkali-kali. Tetapi Dewi tidak pernah memberikan surat panggilan itu kepada orang tuanya, melainkan kepada pamannya. Alasannya orang tuanya sedang dinas di lain kota, dan disini Dewi tinggal bersama pamannya. Sementara itu, di lingkungan tempat tinggalnya Dewi bergaul dengan anak-anak bergaya punk. Anak-anak yang berpenampilan rambut warna-warni, rambut jabrik kaku, berkalung rantai, berpakaian ala metal m dsb. Yang membuat orang yang melihat jadi nyeremin (menyeramkan). Tapi anehnya Dewi berpenampilan normal, tidak bergaya punk. Tetangganya juga jadi merasa gerah melihat banyak anak-anak punk yang suka hadir di lingkungan mereka.

Orang tuanya Dewi, Pak Syamsul dan istri sudah merasa kewalahan, juga malu kepada para tetangga akan ulah dan tindak-tanduk anak perempuannya ini. Sudah pegal rasanya memberi nasehat macam-macam buat anaknya ini. Tetapi, masih ada bagusnya nih Dewi ini. Ia tidak jatuh kedalam pergaulan bebas dan narkoba. Hanya nakal secara fisik saja. Hingga ketika ujian SMP selesai, beruntung Dewi masih juga bisa lulus dengan upaya setengah mati.

Disinilah Pak Syamsul dan istri mengambil suatu keputusan, dimana keputusan tersebut kelak yang bisa mengubah sifat, perilaku dan penampilan Dewi seratus delapan puluh derajat. Pak Syamsul mendaftarkan Dewi untuk melanjutkan sekolah menengahnya kesebuah pesantren di Jawa Timur. Tentu dengan harapan agar dengan suasana dan model pendidikan Pesantren yang agamis mampu merubah segala yang buruk dari anak perempuannya.

Ketika liburan Idul Fitri, Dewi pulang ke rumah orang tuanya di Depok. Subhanallah, Pak Syamsul dan istri mendapati anak perempuannya telah berubah total seratus delapan puluh derajat. Hanya dalam hitungan bulan, anak perempuannya yang sebelumnya berlaku seperti preman, sekarang dengan penampilan berjilbab, shalat tak pernah ditinggalkan, perilaku dan tutur kata kepada orang tua jadi sopan. Yang lebih mencengangkan ketika teman-teman punknya datang ke rumah untuk bersilaturahmi dalam rangka Lebaran, Dewi malas menemui. Baru setelah ibunya mendesak untuk menemui untuk silaturahmi, baru Dewi mau keluar menemui teman-temannya, dan itu pun cepat-cepat disuruhnya teman-temannya tadi untuk pulang.

Teman-teman dan sahabat, kita sudah melihat suatu bukti bahwa orang tua itu memiliki peran yang sangat besar dan menentukan bagi perkembangan anak-anaknya. Bukankah Rasulullah SAW sudah mendeskripsikan bahwa anak itu terlahir fitrah, suci, bersih, orang tuanyalah yang kelak menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. Orang tua berperan besar sekali untuk menentukan hitam putihnya anak. Terutama mengenai pendidikan akhlaknya dan jodohnya kelak. Jangan sampai anak salah memilih jodohnya, kemudian dia dimurtadkan, maka kita sebagai orang tua akan menyesal tidak berkesudahan dan bersiap-siaplah menerima azab nan pedih di akhirat kelak dari Allah SWT karena telah lalai dari pesan Allah,”Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka.”

Bagaimana upaya-upaya kita mendidik anak, sesungguhnya telah jelas panduan dan tuntunan seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an pada surat Luqman:13-19. Pertama, ajari anak kita Tauhid, tanamkan kepadanya bahwa Allah lah Tuhan kita, jangan mempersekutukan Allah. Kedua, ajari anak kita untuk hormat dan berbakti kepada orang tua khususnya kepada ibu yang telah mengandungnya dengan berpayah-payah dan menyusuinya. Ketiga, kita tanamkan nilai moral dan akhlak yang berlandaskan kepada ajaran agama. Yang keempat, ajari anak kita untuk menegakkan shalat sebagai tiang agama. Demikian juga dengan ibadah lainnya. Mungkin kita sebagai orang tua apabila bertemu dengan anak maka seringkali yang ditanya,”Nak sudah makan belum?” Apakah kita juga bertanya kepadanya,”Nak sudah shalat belum?”

Yang kelima, kita didik anak kita untuk rendah hati, jangan berlaku sombong, dan banyak-banyak berbuat kebaikan kepada sesama manusia dan menjadi manfaat bagi kehidupan ini.

Mudah-mudahan kita bisa mendidik, membina anak-anak kita menjadi anak yang soleh, penyejuk hati (qurrota a’yun), dan menghindarkan mereka dari keterjerumusan kedalam pergaulan bebas yang nista serta budak narkoba. Amin, amin ya Robbal ‘alamin.

Bahan siaran inspirasi spiritual “The Power of Peace” di Radio Bahana 101.8 FM tgl. 16 Maret 2009

Danu Kuswara (Kang Danu)
Muhajirin Learning Center
(Dakwah, training, publishing & consultancy)
Perkantoran Yayasan Wakaf Al-Muhajirin
Komplek Billy Moon Pd. Kelapa Kalimalang, Jakarta 13450
021 8649806 – 021 27953797 - 08129116242

Minggu, 08 Maret 2009

SEORANG TEMAN YANG MERINDUKAN KEHADIRAN ANAK

Pekan lalu ada seorang teman, namanya Avivah, berkirim e-mail kepada saya. Isinya,”Kang Danu, saya sudah berumah tangga selama enam tahun, dan sampai kini belum dikaruniai anak atau keturunan. Saya sudah berobat ke dokter, tetapi belum ada hasilnya. Mohon saran dari Kang Danu apa yang harus saya lakukan supaya bisa segera mendapatkan keturunan?” Lemas rasanya tubuh saya membaca e-mail tersebut. Pertanyaannya sederhana, tetapi jawabannya yang sulit.

Sambil bersandar di kursi dan merebahkan kepala seraya memejamkan mata, saya bergumam dalam hati,”Ya Allah, berilah hamba-Mu ini petunjuk agar dapat membantu masalah yang sedang dihadapi teman saya ini.” Ada sekitar lima menit saya terpejam. Tiba-tiba saja saya teringat akan hal yang sama yang pernah dialami oleh seorang teman saya yang lain, yang sampai sekarang sudah sekitar lima tahun tidak berjumpa.

Teman saya itu, sebut saja namanya bang Ikhsan, begitu yang biasa saya panggil. Sekitar Lima tahun lalu dia bercerita kepada saya mengenai pengalamannya sehingga ia akhirnya diberi karunia dan amanah oleh Allah, seorang anak. Lima tahun lalu, bang Ikhsan beserta istri sudah berumah tangga selama delapan tahun, belum dikaruniai seorang anak. Dan selama delapan tahun itu mereka berikhtiar ke sekian banyak dokter untuk mendapatkan keturunan. Hasilnya, luar biasa, mereka dinyatakan sehat secara fisik dan subur.

Pada tahun ke delapan pernikahannya, mereka tetap berikhtiar tanpa kenal putus asa dan kata menyerah. Mereka bertanya kepada salah seorang sahabatnya bagaimana caranya agar bisa mendapatkan keturunan. Toh mereka sehat dan subur. Tanpa diduga-duga sahabatnya tersebut menjawab,”sudah pernah Umrah belum?””Lho kok Umrah jawabannya. Memangnya kenapa dengan Umrah?”sergap bang Ikhsan surprise mendengar jawaban sahabatnya. Temannya menjawab lagi,”Kalau Umrah, kan kita bisa menjumpai tempat-tempat yang mustajab untuk berdoa. Di Madinah, di Masjid Nabawi berdoa deh di Raudoh. Kalau di Masjidil Haram, berdoa di Multazam, Maqom Ibrahim, dan Hijir Ismail. Berdoa deh kamu sekhusyu’ mungkin, ikhlas, mohon ampun dulu atas segala dosa yang pernah kita perbuat. Lalu mintalah apa yang kita hajatkan. Insya Allah, Allah akan mengabulkan.” Bang Ikhsan terdiam merenung dengan mimik wajah serius.

Bang Ikhsan tidak puas mendengar jawaban sahabatnya itu. Dalam pikirannya terlalu jauh mengaitkan keinginan untuk punya anak dengan Umrah. Kemudian bang Ikhsan mendatangi seorang sahabatnya yang lain untuk bertanya bagaimana caranya agar bisa mendapatkan keturunan? Dan tidak disangka-sangka olehnya, jawabannya sama,”Sudah pernah Umrah belum?” Dan alasannya sama dengan penjelasan sahabatnya yang pertama diatanyai olehnya. Bang Ikhsan jadi bingung seperti orang yang kehabisan pikiran.

Kali ketiga, bang Ikhsan menemui Ustadz di Masjid dimana Bang Ikhsan sering shalat berjamaah di dekat tempat tinggalnya. Tanpa diduganya juga sang Ustadz menjawab dengan jawaban yang sama,”Sudah pernah Umrah belum?” Dan seterusnya dengan alas an yang sama. Pusing kepala ang Ikhsan mendengar jawaban Ustadnya tersebut.

Sudah tiga orang yang didatangi oleh Bang Ikhsan dan ketiganya menjawab dengan hal yang sama? Apakah ini semua terjadi secara kebetulan atau apa? Bang Ikhsan dalam ketidak mengertiannya memutuskan untuk datang bertanya kepada ayah dan ibunya dan kemudian kepada ayah dan ibu mertuanya. Apa jawaban yang didapatnya? Ternyata orang tua dan mertuanya memberi jawaban yang sama. Makin tidak mengerti bang Ikhsan akan hal ini semua.

Bang Ikhsan memutuskan akan bermunajat, bertanya kepada Allah untuk mencari rahasia dari jawaban teman-teman, Ustadz, orang tua dan mertuanya. Dalam tahajudnya, bang Ikhsan mencurahkan segala ketidak mengertiannya tersebut. Dan dalam khusyu’ doanya, ang Ikhsan akhirnya memutuskan akan berangkat umrah bersama istri. Barangkali ini petunjuk dari Allah. Di tanah suci mereka berniat untuk memanjatkan doa seluas-luasnya, terutama memohon agar Allah berkenan mengamanahkan kepada mereka anak keturunan. Di Raudah, Multazam, Maqom Ibrahim dan Hijir Ismail mereka berdoa dengan penuh kemantapan hati dan penuh pengharapan.

Sekitar tiga bulan setelah kembali dari umrah, bang Ikhsan kedatangan salah seorang tetangganya yang tukang ojek dengan maksud hendak meminjam uang untuk memeriksakan kandungan istrinya yang sudah berusia delapan bulan. Ketika ditanya oleh bang Ikhsan,”Anak yang keberapa Mas?” Dengan sedikit tersipu tukang ojek menjawab,”yang kelima Pak.””Subhanallah, yang kelima?”Tanya Bang Ikhsan terkaget. Dalam pikirannya kok ada orang yang dengan mudahnya mendapat anak, eh kok saya susah banget.

Akhirnya setelah berunding singkat dengan istri, dan dengan dilandasi niat untuk berbuat baik, maka Bang Ikhsan dan istri memutuskan untuk tidak memberikan pinjaman uang, melainkan memberikan saja untuk biaya periksa kandungan dan sekalian biaya melahirkannya. Usut punya usut, Bang Ikhsan rupanya sudah tahu akan kondisi kehidupan tukang ojek tersebut, dan bahkan keempat anak-anaknya sudah seperti tidak terurus. Dan sudah sepantasnya Bang Ikhsan membantu. Menurut pemahamannya dalam mengikuti ta’lim-ta’lim, tidak ada satu kebaikan yang tidak dibalas oleh Allah, sebagaimana tidak ada satu pun keburukan dan kejahatan yang tidak dibalas oleh Allah.

Bahkan ketika hendak melahirkan, bang Ikhsan lah yang menolong membawa istri tukang ojek itu ke rumah sakit. Melahirkan dengan cara Caesar, karena kandungan istri tukang ojek ada masalah, karena kurang diurus selama mengandung. Setelah melahirkan seorang bayi laki-laki, tukang ojek beserta istri datang berkunjung ke rumah bang Ikhsan untuk bersilaturahmi, mengucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Dengan ucapan perlahan, si tukang ojek dan istri juga berucap, yang amat mengejutkan bang Ikhsan dan istri, bermaksud ingin menyerahkan anaknya yang baru lahir untuk diurus oleh bang Ikhsan. Sungguh amat terkejut dan tidak menyangka-nyangka bang Ikhsan dan istri mendengar hal itu. Setelah merenung dan berunding dengan istrinya, bang Ikhsan dan istri menolak dengan halus tawaran tersebut. Bang Ikhsan tidak ingin perbuatan baiknya dianggap sebagai pamrih untuk bisa memiliki anak dari tukang ojek tersebut. Dan bagi mereka kasih sayang dari orang tua kandung tidak akan bisa tergantikan oleh siapa pun

Sebaliknya bang Ikhsan dan istri bermaksud untuk menjadikan anak tersebut sebagai anak asuh. Biaya susu, dan biaya makanan anak tersebut akan ditanggung oleh bang Ikhsan dan istri, dan akan membiayai sampai anak tersebut selesai SLTA. Begitu pun dengan ke empat anak tukang ojek lainnya, akan ditanggung biaya sekolahnya sampai semua lulus SLTA. Menurut bang Ikhsan, kalau mau berbuat baik jangan tanggung-tanggung, jangan pakai hitung-hitungan. Biar gantinya Allah saja yang balas.

Lima bulan kemudian, Subhanallah, istri bang Ikhsan akhirnya mengandung. Ikhtiar yang mereka jalani selama lebih dari delapan tahun diiringi doa pada shalat wajib dan tahajud, bahkan dengan melakukan umrah, serta menanam kebaikan akhirnya berbuah manis. Memang Allah tidak pernah mengingkari janjinya. Siapa yang menanam kebaikan akan menuai kebaikan pula.

Dalam penutup ceritanya, bang Ikhsan membuka rahasia betapa ia dan istri gigih dan sabar untuk berupaya mendapatkan anak keturunan. Pertama yang mereka lakukan adalah menjaga ibadah, jangan sampai shalat wajib ada yang bolong, walau bagaimana pun kondisinya, dan diiringi dengan doa. Kedua, shalat tahajud secara istiqomah. Ketiga sering menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Keempat, ini yang menjadi kebiasaan mereka setelah pulang umrah yaitu memberi makan kepada pengemis yang suka berkumpul di Masjid menjelang shalat Jum’at sekitar 10 orang rutin setiap hari Jum’at. Kelima, banyak-banyak menjenguk orang sakit, doakan untuk kesembuhannya dan minta juga didoakan, karena doa orang sakit itu mustajab. Dan keenam, jangan sampai kita lupa, “saya banyak minta didoakan oleh orang tua saya , karena saya yakin doa mereka itu amat mustajab, sebagaimana juga sumpah serapah mereka. Saya bahagiakan mereka, saya buat mereka senang sekuat dan semampu saya. Itu semua saya jalankan seperti yang disarankan oleh Ustadz saya.”kata bang Ikhsan

Demikian cerita bang Ikhsan kepada saya. Terima kasih saya haturkan kepadanya yang telah memberikan saya inspirasi untuk berbagi kepada teman saya yang sedang menantikan datangnya amanah Allah berupa anak, mba’ Avivah. Dan semoga juga bisa bermanfaat untuk teman-teman dan sahabat lainnya yang kebetulan sedang menanti amanah Allah SWT, baik yang baru beberapa bulan maupun yang sudah bertahun-tahun.

Kang Danu (Danu Kuswara), Jakarta, 8 Maret 2009

Muhajirin Learning Center
Dakwah, Publishing, Training & Consultancy

Perkantoran Yayasan Wakaf Al-Muhajirin
Komplek Billy Moon Pd. Kelapa Kalimalang, Jakarta 13450
021 8649806 – 021 27953797 - 08129116242