Senin, 11 Mei 2009

“ANAK JALANAN” KESEPIAN DI KERAMAIAN

anak jalanan kumbang metropolitan
selalu ramai dalam kesepian
anak jalanan korban kemunafikan
selalu kesepian di keramaian

tiada tempat untuk mengadu
tempat mencurahkan isi kalbu
cinta kasih dari ayah dan ibu
hanyalah peri yang palsu

anak perawan kembang metropolitan
selalu resah dalam penantian
anak perawan korban keadaan
selalu menanti dalam keresahan

tiada restu untuk bertemu
restu menjalin hidup bersatu
kasih sayang dari ayah dan bunda
hanyalah adab semata

tiada waktu untuk bertemu
waktu berkasihan dan mengadu
karena orang tua metropolitan
hanyalah budak kesibukan ..
anak gedongan lambang metropolitan
menuntut hidup alam kedamaian
anak gedongan korban kesibukan
hidup gelisah dalam keramaian

Ketika saya sedang berkendaraan mendengarkan lagu, lagu Anak Jalanan ini tiba-tiba menyentuh rasa penasaran saya. Saya ulang dan ulang lagi. Padahal lagu ini sudah sering saya dengar, mungkin kalau saya tidak keliru ingat, waktu di SMA dulu. Tetapi kali ini memiliki makna yang berbeda. Dalem banget rasanya kali ini., sehingga saya putuskan untuk menjadi bahan siaran saya.
Secara simultan belakangan ini saya membaca berita, menonton televisi, bahkan membaca e-mail dari teman-teman, atau yang sekedar sharing, umumnya masalah yang beredar adalah masalah atau problematika rumah tangga. Ingat beberapa bulan lalu ketika ada berita penggerebekan klinik yang melakukan aborsi? Ada satu momen dimana sebuah televisi swasta menayangkan wawancara dengan seorang pemudi pelaku aborsi, yang sudah tiga kali aborsi dan pertama kali aborsi ketika ia berusia enam belas tahu. Nauzubillah min zalik. Atau berita seseorang yang terkapar tak bernyawa karena overdosis narkoba? Lagu Chrisye Anak Jalanan seolah mewakili dengan ringkas realitas yang ada di masyarakat kita, tidak saja pada waktu lagu tersebut pertama diperdengarkan , melainkan juga hingga saat kini.
Saya ingin menyorot dari sisi keluarga. Keluarga mana sejatinya yang ingin anak-anaknya menjadi korban overdosis narkoba? Keluarga mana yang ingin anak gadisnya hamil diluar nikah kemudian berkali-kali aborsi, bahkan banyak yang meninggal. Keluarga mana yang ingin anaknya melarikan diri dari rumah kemudian hidup di jalan. Tentu saja tidak ada. Kita semua tentu saja menginginkan memiliki keluarga yang bahagia, anak-anak yang soleh solehah, sehat jasmani rohani, cerdas, pintar, sopan dan semua-semua yang ideal sifatnya.
Tetapi bagaimana halnya contoh-contoh peristiwa tidak ”menyenangkan” tersebut ternyata terjadi dalam keluarga kita? Mudah-mudahan tidak. Yang terjadi pada keluarga orang lain sudah semestinya menjadikan hal tersebut sebagai contoh untuk kita bisa menghindarinya. Kita jadikan pengalaman yang terjadi pada seseorang sebagai guru kehidupan, agar kita bisa membangun dan menata kehidupan keluarga menjadi keluarga sakinah, mawadah dan warohmah.
Sejenak kita menyimak firman Allah Swt di dalam Al-Qur’an surat At-Tahrim:6,”Yaa ayyuhalladziina ’aamanuu quu anfusakum wa ahliikum naa roo.””Wahai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” Firman Allah ini merupakan sebuah ”Surat Tugas” kepada kita, khususnya kaum Bapak, agar kita memeilhara dengan segala daya dan upaya agar keluarga kita dapat menempuh jalan kehidupan di dunia ini, selamat, bahagia, sukses, sejahtera, baik di dunia dan akhirat. Kemudian sebagian ada yang bertanya, caranya bagaimana?
Di dalam surat Al-An’am ayat 162 Allah berfirman yang artinya,”Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam.” Jadi apa pun ikhtiar kita, aktifitas kita tertuju untuk kepada Allah semata. Apabila kita bekerja, maka dari niat, ikhtiar hingga hasil pekerjan kita, tertuju untuk unjuk pengabdian kepada Allah Swt. Begitu pun dengan keluarga yang kita miliki. Kita pelihara keluarga kita, kita didik anak-anak kita dengan pendidikan yang baik, dengan dilandasi pendidikan agama yang baik, kita cermati dan jaga pergaulannya, kita beri mereka nafkah yang halal, kita perkenalkan mereka dengan saudara-saudara mereka yang berada di panti asuhan yatim piatu, kita pimpin mereka untuk shalat berjamaah.
”Kita kan suami istri sibuk bekerja Kang, mana ada waktu buat ngurusin seperti itu.” Demikian yang sering orang katakan kepada saya. ”Paling kita ”nitipin” anak kita sama pengasuh, kan mereka bisa bantuin kita mulai dari memandikan anak kita, menyediakan sarapan hingga makan malamnya, mengantar sekolah bersama supir, mengantar les atau bimbel. Yah, paling kita bisa ngumpulnya Sabtu atau Minggu, itu juga kalau nggak ada pekerjaan tambahan. Dan yang penting, semua kebutuhannya kan kita bisa penuhi.” Demikian yang sering dikatakan.
Saya teringat akan sebuah kisah yang dikirimkan seorang sahabat kepada saya beberapa waktu lalu tentang sebuah keluarga yang kedua orang tuanya sibuk dengan pekerjaan hingga kehilangan ”mutiara” terbaiknya.
Sebut saja Ibu Mawar. Ia dan suami yang merupakan pasangan muda, usia 30 tahun-an, sedang menikmati buah manisnya perjalanan karir mereka yang terus menanjak. Mereka memiliki dua anak, yang pertama laki-berusia delapan tahun sudah kelas tiga SD, yang kedua perempaun, namanya Melati berusia empat tahun dan masih di TK. Sebagai anak bungsu perempuan, Melati memang manja, setiap pagi selalu berkata,”Mama, mama, mandikan Melati ya Ma, aku pingin dimandikan sama Mama.” begitu yang hampir setiap pagi Melati katakan kepada Ibunya. ”Aduh Melati, Mama sibuk harus berangkat pagi-pagi, nanti Melati mandi saja sama Bibi ya.” Di lain kesempatan Melati berkata,”Mama, bikinkan aku telor ceplok ya, aku pingin makan telor ceplok buatan Mama,””Aduh Melati, Mama nggak ada waktu, nanti Bibi aja yang buatkan ya.”Jawab Ibu Mawar selalu saja menghindar.
Suatu kali Melati berkata kepada Ibunya,”Mama, Melati pingin deh Mama yang mengantar Melati ke sekolah, seperti teman-teman yang lain.””Waduh Melati, Mama kan harus kerja, mana sempat.”demikian jawab Bu Mawar berulang kali. Dan bahkan pada hari Sabtu pun Ibu Mawar tidak mengantar Melati ke sekolah, capek alasannya.
Praktis tugas Ibu Mawar dikerjakan oleh si Bibi, apakah itu memandikan, menyiapkan sarapan, mengantar ke sekolah, mengantar ke TPA, hingga menemani tidurnya, semua dilakukan oleh si Bibi. Maklum Bu Mawar sering pulang setelah Melati sudah pergi tidur. Bahkan pula, bepergian bersama keluarga di hari libur sudah lama tidak dilakukan, sibuk alasannya, capek alasannya.
Suatu hari Bu Mawar mendapat telepon dari si Bibi yang mengabarkan bahwa Melati badannya panas ”Sudah kamu berikan saja obat penurun panas, tuh ada kan di lemari obat.” kata Bu Mawar singkat. Ternyata sakit panas Melati sudah berlangsung selama tiga hari. Dan selalu jawaban yang sama diberikan oleh Bu Mawar kepada si Bibi. Di hari ketiga di siang hari itu kembali si Bibi menelepon Bu Mawar memberitakan Melati yang masih panas.”Bi, nanti kalau sampe sore tetap panas, kamu pergi sama sopir ya ke dokter langganan, saya ada rapat denga klien sampe malam.”Dengan ringan Bu Mawar menugaskan kepada si Bibi. Dan rupanya sejak siang sampai malam sekitar jam sembilan tidak ada telepon lagi dari si Bibi. Mungkin Melati sudah turun panasnya, pikir Bu Mawar.
Ketika Bu Mawar bersama suami pulang jam sembilan, si Bibi membukakan pintu sambil menangis bersama anak laki-laki Bu Mawar. Ada apa gerangan kok pada menangis.”Ada apa Bi kok pakai nangis segala?” kata suami Bu Mawar. ”Neng Melati Bu, Neng Melati...”jawab si Bibi susah untuk berkata-kata.”Kenapa Melati Bi?” Kata Bu Mawar. Meraka bergegas masuk ke kamar Melati. ”Maaf Bu, saya nggak berani menelepon Ibu, saya takut Bu.” Bu Mawar beserta Suami menguncang-guncang tubuh Melati yang sudah terbujur kaku. Pecahlah tangisan keras Bu Mawar dan Suami.
Jakarta, 11 Mei 2009
Danu Kuswara/Cerah Hati INstitute
Bahan siaran inspirasi spiritual ”The Power of Peace” di Radio Bahan 11 Mei 2009.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar