Minggu, 14 Juni 2009

SERI KELUARGA SAKINAH; “ADINDA, OH BUAH HATIKU, KAU DAN AKU SELALU SATU” Inspired by: Bimbo

Adinda oh sayang adinda
Namamu tiada duanya
Adinda oh sayang adinda
Dikau intan permata

Sejuknya embun dini hari
Sesejuk tutur senyum kau beri
Hangatnya sinar matahari
Sehangat cinta yang kau beri

Sejak kumengenal dikau
Dunia tampak indah kemilau
Aku hidup hanya untukmu
Jangan jangan jangan tinggalkan daku

Adinda oh sayang adinda
Namamu tiada duanya
Adinda oh buah hatiku
Kau dan aku selalu satu

Adinda, dikau lah embun pagi
Adinda, dikaulah matahari
Adinda, dikau permata hati
Adinda, cintaku,....adinda......

Mendengar lagu Bimbo yang berjudul Adinda ini, tersenyum-senyum saja saya sendiri, membayangkan betapa besar rasa sayang seorang pria yang digambarkan oleh pelantun lagu ini terhadap pasangan hidupnya, istrinya, sang Adinda. Tentu saja, seperti juga hal nya saya, setiap pria, setiap suami, ingin sekali sekuat daya dan upaya untuk menyayangi istrinya, selalu mencurahkan segenap cintanya kepada sang belahan jiwa, sang buah hati.

Tetapi pada kenyataannya, tidaklah mudah mewujudkan kondisi keluarga yang adem tentrem, rukun, akur, penuh kehangatan, berlimpah kebahagiaan, yang dilandasi dengan kekuatan iman.

Beberapa waktu belakangan ini, saya lumayan banyak di kirimi cerita lewat lewat message FB, e-mail, lewat telepon tentang masalah keluarga. Ada yang mengadukan kemelut rumah tangganya, meminta pendapat saya mengenai solusinya, seperti yang diceritakan seorang pendengar siaran inspirasi spiritual di radio Bahana 101.8 FM minggu lalu. Ia berkirim sms interaktif diwaktu siaran, bahwa suaminya menikah lagi, meninggalkan hutang, didatangi penagih, bahkan rumahnya terancam disita. Kisah tadi disambung keesokan harinya dengan menelepon saya sambil menangis mengadukan masalahnya dan mohon untuk dibantu mencarikan jalan keluarnya. Ada juga yang tiba-tiba dilabrak oleh seorang wanita, disangkanya ada main denga suaminya dan jadi WIL nya, tetapi ternyata salah alamat. Yang ini kasian juga, tapi saya jadi tertawa, karena teman saya tadi juga tertawa.

Kisah yang saya tulis ini adalah kisah yang dikirimkan seorang teman, yang menceritakan pengalaman hidupnya dalam mengarungi rumah tangga.

Sebutlah namanya Ibu Riri, tinggal di Bandung, kejadiannya pada tahun 2005. Pada malam takbiran di tahun 2005, secara tidak sengaja Ibu Riri melihat HP suaminya yang baru. Pengen tahu aja, kalau HP baru menunya, tampilannya dsb nya kaya’ apa sih. Ibu Riri ini bukan tipe perempuan yang suka menyelidiki apa yang ada pada suaminya. Dia dan juga suaminya adalah orang yang menghormati privasi masing-masing. Tidak mengecek isi dari HP masing-masing. Mereka berdua bekerja, sang suami di sebuah perusahaan ekspedisi dan Ibu Riri di perusahaan trading.

Rumah tangga mereka, seperti juga banyak rumah tangga lainnya, sering juga timbul pertengkaran, tapi rukun lagi, mesra lagi, ya gitu deh. Tidak ada pertengkaran hingga mengakibatkan pakai cerita pisah-pisahan, pisah ranjang, pisah rumah. Mereka nikah pada usia yang masih muda, katanya, ketika Ibu Riri masih kuliah di semester ke empat, hingga tahun 2005 usia pernikahan mereka mencapai lima belas tahun, serta dikarunia tiga orang anak, satu perempuan dan dua laki-laki.

Di malam takbiran tahun 2005 itu, terjadilah, hal yang tidak sama sekali terbayangkan oleh Ibu Riri. Didapatinya di “inbox” Hpo suaminya sebuah sms dari seseorang wanita, yang dia pikir itu adalah teman sekerja suaminya. Tapi kok bernada mesra. Lalu dia tekan tombol “sent” yang ternyata juga suaminya mengirim pesan dengan nada mesra ke nomor yang sama. Ditanyalah temuan itu kepada suaminya. “Bang sms siapa ini Bang, Bang, pesannya pakai sayang-sayang?” Itu mah lagu dangdut. Tapi itulah yang ditanyakan.

Tetapi jawaban yang diperoleh malah justru jauh diluar perkiraan Ibu Riri. Sang Suami langsung merangkulnya seraya berkata,”Mah, saya tidak mau kehilangan kamu, sungguh saya tidak mau kehilangan kamu.” “Eh, ada apa ini, saya kan cuma nanya, siapa sih yang ada di sms ini, Cuma itu kok?” tanya balik Ibu Riri dengan ekspresi tenang.

Dan ternyata jawaban suaminya di malam takbiran itu sungguh seperti halilintar yang menggelegar di siang hari yang tiada hujan. Sunguh diluar dugaan. Sms itu ternyata dari wanita lain yang sudah menjadi istri siri suaminya. Menurut Ibu Riri, ia tidak menjerit, tidak marah, dengan ketenangan yang saya juga tidak bisa membayangkan ia bertanya jawab dengan suaminya. Memang suaminya sering dinas ke lauar kota, berhari-hari meninggalkan rumah. “Dengan tenang saya mendengarkan omongan suami saya, walau pun di dalam hati saya berteriak, menjerit. Hanya bantal yang basah bersimbah air mata saja yang tahu betapa saya merasakan sakit yang amat sangat di hati saya.” Begitu kata Ibu Riri.

Masalah yang dihadapi Ibu Riri tidak sama sekali diceritakan kepada kakak dan adiknya, bahkan kepada Ibu nya sekali pun. Ia mencoba mendinginkan hati seraya merancang tindakan apa yang semestinya dia harus ambil yang terbaik bagi dia, suami dan anak-anaknya. Hingga akhirnya di penghujung tahun 2005, di bulan Desember Ibu Riri mengajak adik perempuannya untuk minta diantarkan ke Pengadilan Agama untuk mengetahui bagaimana caranya untuk menggugat cerai. Disitulah baru geger seluruh keluarga. “Kok nggak bilang-bilang. Memangnya kamu tidak punya keluarga.” Begitu kata ibunya terkejut setengah mati. Kata Ibu Riri kepada saya, menurut orang-orang, kalau ada keributan di rumah tangga sampai ke hal yang dia alami, si istri tidak pakai teriak-teriak, marah yang amat sangat, itulah tandanya “cinta” sudah tiada lagi.

Singkatnya perceraian pun terjadi, hal yang katanya, tidak diinginkan oleh suaminya. Dan anak-anak nya yang tiga orang itu ikut dengan Ibu Riri. Selang beberapa waktu berlalu, di tahun 2008 bulan Agustus, Ibu Riri menikah lagi dengan dengan seorang pria yang, Subhanallah, lebih muda tujuh tahun darinya dan masih bujangan. Ia menerima Ibu Riri dengan segala keberadaannya. Ibu Riri mengatakan, bahwa ia masih gamang dengan pernikahnnya kali ini, mengingat rentang usia yang cukup jauh dibawahnya dengan suaminya, dan ia musti belajar banyak bahkan dari awal untuk menata kembali rumah tangganya. Semoga Ibu Riri dan suami diberi kekuatan dan kemampuan untuk mengelola rumah tangganya menjadi rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah, amin.

APA SIH KELUARGA SAKINAH, MAWADDAH WA RAHMAH ITU?

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (ar-Rum:21)

Ketenteraman suami kepada isteri dan kelengketan isteri kepada suaminya merupakan hal yang bersifat fitar dan sesuai dengan nalurinya. Di dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum :21, dijelaskan pondasi kehidupan rumah tangga yang diliputi suasana dan perasaan yang sejuk. Isteri ibarat tempat suami bernaung, setelah perjuangannya seharian demi mendapatkan rejeki untuk menafkahi keluarganya, dan mencari penghiburnya setelah dihinggapi rasa letih dan penat. Dan pada pelabuhannya, semua letih dan penat itu ditumpahkan ke tempat bernaung ini. Ya, kepada sang isteri tercinta yang harus menerimanya dengan penuh rasa suka, wajah yang ceria, dan senyum riang yang tulus. Senyum yang sejuk seperti embun pagi.

Ketika itulah, sang suami mendapatkan darinya telinga yang mendengar dengan baik, hati yang welas asih, dan tutur kata darinya yang lemah lembut. Profil wanita solihah ditegaskan melalui tujuan ia diciptakan, yaitu menjadi penenteram bagi laki-laki dengan semua makna yang tercakup dalam kata “ketenteraman” (sakinah) itu. Dan, agar suatu ketenteraman itu dikatakan layak, maka ia (wanita) harus memiliki beberapa kriteria. Di antara yang terpenting adalah : “pemiliknya” merasa senang ketika ia memandangnya, ia mendapatkan pelayanan dengan baik apabila membutuhkannya, dan mampu menjaga keluarga dan hartanya bila suami jauh dari sisinya.

Terkait dengan pondasi rumah tangga yang dijelaskan dalam surat Ar-Rum : 21, ada beberapa hal yang layak untuk kita renungkan bersama:

PERTAMA , “Wa Ja’ala bainakum mawaddah wa rohmah.” “Dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.” (QS Ar-Rum : 21). Terkait dengan makna ayat ini terdapat empat pendapat:
1. Arti Mawaddah adalah Al-Mahabbah (kecintaan), sedangkan arti Rahmah adalah Asy-Syafaqah (rasa kasih).
2. Arti Mawaddah adalah Al-Jima’ (hubungan badan) dan Rahmah adalah Al-Walad (anak).
3. Arti Mawaddah adalah mencintai orang yang lebih besar (lebih tua), dan Rahmah adalah, welas asih atau rasa kasih terhadap anak kecil (yang lebih muda).
4. Arti keduanya adalah saling berkasih sayang di antara pasangan suami-isteri.

Dalam kaitannya dengan makna ayat tersebut di atas, Imam Ibnu Katsir berkata, “Di antara tanda kebesaran-Nya yang menunjukkan keagungan dan kesempurnaan kekuasaan-Nya, Dia menciptakan wanita yang menjadi pasangan kamu berasal dari jenis kamu sendiri sehingga kamu cenderung dan tenteram jika berada disisinya (sakinah) . Andaikata Dia menjadikan semua Bani Adam (manusia) itu laki-laki dan menjadikan wanita dari jenis lain selain mereka, seperti bila berasal dari bangsa jin atau hewan, maka tentu tidak akan terjadi kesatuan hati di antara mereka dan pasangan (istri) mereka, bahkan sebaliknya membuat lari, bila pasangan tersebut berasal dari lain jenis.

Kemudian, di antara kesempurnaan rahmat-Nya kepada Bani Adam, Dia menjadikan pasangan mereka dari jenis mereka sendiri dan menjadikan di antara sesama mereka rasa cinta (mawaddah), dan rasa sayang (rahmah), rasa kasihan. Sebab, bisa jadi seorang laki-laki mengikat wanita karena rasa cinta atau kasih terhadapnya hingga mendapatkan keturunan darinya atau ia (si wanita) butuh kepadanya dalam hal nafkah atau agar terjadi kedekatan hati di antara keduanya, dan lain sebagainya.

KE DUA . Mari kita renungi sejenak firman-Nya, “dari jenismu sendiri.” Istri adalah manusia yang mulia di mana terjadi persamaan jenis antara dirinya dan suami, namun laki-laki memiliki tingkatan Qiwâmah (kepempimpinan) atas wanita (Al-Baqarah:228).

Kepemimpinan suami bukan artinya bertindak otoriter dengan membungkam pendapat orang lain (istri). Kepemimpinannya itu ibarat rambu lalu lintas yang mengatur perjalanan tetapi tidak untuk memberhentikan dengan semaunya.. Karena itu, kepemimpinan laki-laki tidak berarti menghilangkan peran wanita dalam berpendapat dan bantuannya di dalam membina keluarga.

KE TIGA. Rasa aman, ketenteraman dan kemantapan dapat membawa keselamatan bagi anak-anak dari setiap hal yang mengancam eksistensi mereka dan membuat mereka menyimpang serta jauh dari jalan yang lurus, sebab mereka tumbuh di dalam suatu ‘lembaga’ yang bersih, tidak terdapat kecurangan maupun campur tangan, di dalamnya telah jelas hak-hak dan arah kehidupan, masing-masing individu melakukan kewajiban nya sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,“Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.”

Kepemimpinan sudah ditentukan dan masing-masing individu sudah rela terhadap yang lainnya dengan tidak melakukan hal yang melampaui batas. Inilah makna firman-Nya dalam surat An-Nisâ`, ayat 34,”Ar Rijaa lu qowwaa muu na ’alannisaa.””Laki-laki itu pemimpin bagi kaum wanita.”

KE EMPAT. Masing-masing pasangan suami-isteri harus saling menghormati pendapat yang lainnya. Harus ada diskusi yang didasari oleh rasa kasih sayang tetapi sebaiknya tidak terlalu panjang dan sampai pada taraf berdebat. Sebaiknya pula salah satu mengalah terhadap pendapat yang lain apalagi bila tampak kekuatan salah satu pendapat, sebab diskusi obyektif yang diasah dengan tetesan embun rasa kasih dan cinta akan mengalahkan semua bencana demi menjaga kehidupan rumah tangga yang bahagia.

KE LIMA. Rasa kasih dan sayang yang tertanam sebagai fitrah Allah Subhanahu wa ta’ala di antara pasangan suami-isteri akan bertambah seiring dengan bertambahnya kebaikan pada keduanya. Sebaliknya, akan berkurang seiring menurunnya kebaikan pada keduanya sebab secara alamiah, jiwa mencintai orang yang memperlakukannya dengan lembut dan selalu berbuat kebaikan untuknya. Nah, apalagi bila orang itu adalah suami atau isteri yang di antara keduanya terdapat rasa kasih dari Allah Subhanahu wata’ala, tentu rasa kasih itu akan semakin bertambah dan menguat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Dunia itu adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangannya adalah wanita shalihah.”

KE ENAM. Kesan terbaik yang didapat dari rumah tangga Nabawi adalah terjaganya hak dalam hubungan suami-isteri baik semasa hidup maupun setelah mati. Hal ini dapat terlihat dari ucapan istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tercinta, ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha yang begitu cemburu terhadap Khadijah Radhiyallahu ‘anha, istri pertama Beliau padahal ia sudah wafat dan belum pernah dilihatnya. Hal itu semata karena Beliau sering mengingat kebaikan dan jasanya.

Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala menjadikan rumah tangga kaum Muslimin, rumah tangga kita, rumah tangga yang selalu diliputi sakinah, mawaddah dan rahmah. Dan hal ini bisa terealisasi, manakala kaum Muslimin kembali kepada ajaran Rasul mereka dan mencontoh kehidupan rumah tangga Beliau.
Sejuknya embun dini hari, sesejuk tutur senyum kau beri, hangatnya sinar matahari, sehangat cinta yang kau beri....

Hadanallahu wa iyyakum ajma’in.


CERAH HATI INSTITUTE, Jakarta, 15 Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar