Sabtu, 17 Januari 2009

HIKMAH DI BALIK SAKIT

Minggu lalu salah seorang sahabat saya, seorang penyiar, tiba-tiba mengingatkan saya dengan suatu pertanyaan, sebenarnya suatu hal yang lazim tetapi kali ini saya rasakan berbeda,”Kang, ini sudah musim hujan, hati-hati lho kita musti jaga diri biar ngga’gampang sakit. Eh Kang, ngomong-ngomong ada ngga’ sih hikmah kalo orang sedang mengalami sakit?”

Saya senyum kecil saja mendengar sergapan pertanyaan tiba-tiba sahabat saya itu,”Ah,...aya aya wae kamu?” jawab saya ringan, tetapi sekaligus berpikir juga, memangnya hikmah apa ya dibalik sakit itu.

Secara kebetulan dalam satu bulan terakhir saya beberapa kali menjenguk orang sakit, baik itu teman dan saudara saya sendiri. Dan ketika saya merenung sebentar mengingat-ingat momen-momen ketika menjenguk yang sakit, tergumpallah sebuah rentetan jawaban buat sahabat saya itu.

Di rumah, malamnya sambil menikmati kopi, saya merenungkan mencoba menguak hikmah apa saja yang ada dibalik peristiwa sakit. Bagi sebagian banyak orang, bisa saja termasuk kita, sakit dianggap sebagai suatu musibah bahkan bencana. Saya teringat akan hadits Rasulullah SAW tentang keagungan musibah,”Jika Allah menurunkan ujian kepada hamba yang beriman dengan suatu ujian penyakit pada tubuhnya, maka Allah mememerintahkan para malaikat-Nya:’Catatlah amal kebajikan untuknya!’ Jika Allah menyembuhkan hamba itu, maka Dia telah membersihkan dan menyucikan segala kesalahannya. Dan bila hamba itu sampai meninggal dunia, maka Dia juga telah mengampuni dosa-dosanya dan memberikan rahmat kepadanya.” (HR Ahmad)

Subhanallah, hampir tersedak kopi saya mengingat hadits ini. Mengapa kita tidak mengubah pola penilaian dan penyikapan kita tentang sakit. Betapa tidak jika kebanyakan kita menilai penyakit sebagai suatu malapetaka dan nestapa, mari kita mencoba sekuat daya kita melihatnya sebagai karunia dan kasih sayang Allah. Bagaimana tidak dikatakan sebagai anugerah, kalau dengan perantaraan penyakit itu kedudukan kita menjadi sangat istimewa di hadapan Allah.

Bagaimana tidak dikatakan karunia jika dengan penyakit yang kita derita bukan hanya dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kita yang dihapuskan oleh Allah, melainkan juga pahala-pahala kebajikan kita dilipatgandakan oleh-Nya, bahkan setiap detik nafas kehidupan yang kita lalui bersama penyakit sama nilai pahalanya dengan satu hari ibadah? Bukankah penyakit layak disebut karunia apabila bersama penyakit itu kita mampu mendidik diri kita tentang kearifan hidup, dan membuat kita mampu memahami rahasia kehidupan?

Kemudian sambil sesekali mereguk kopi saya coba mengurai satu persatu hikmah penyakit itu secara sederhana, seperti yang saya mampu pahami, pertama, kita yang sehat dan yang sakit jadi mengingat betapa penting dan amat bernilainya kesehatan itu. Kita menjadi aware akan pentingnya menjaga kesehatan. Bukankah bila kita sehat kita dapat terus beraktifitas sehari-hari, mencari nafkah, mengantar dan menjemput anak sekolah, mengantar istri berbelanja atau menemani suami ke rumah mertua, dan yang paling penting, beribadah, terutama shalat.

Bayangkan, disaat sakit, kita membayangkan nikmatnya dapat mengangkat tangan ketika takbiratul ihram, takzimnya berruku, syahdunya ketika bersujud. Tapi ketika sakit, tanganpun terasa linu untuk digerakkan, kepala terasa berat untuk dianggukkan. Tetapi walau pun demikian, tetap saja shalat itu harus ditegakkan. Betul tidak?

Kemudian yang kedua, melatih kesabaran dan bersyukur. Dalam keadaan sakit, kita biasanya amat mudah berkeluh kesah, bahkan bersumpah serapah. “Gara-gara nih sakit hilang deh proyek gue”. Mungkin begitu yang pernah kita dengar. “Percayalah ada sebutir mutiara yang sedang diasah dalam dirimu dan suatu waktu percikan cahayanya akan menyinari sekelilingmu. Semoga rahmat Tuhan selalu bersamamu”. Demikian pernah dikatakan seorang sufi kepada seseorang yang sedang mengeluhkan penyakitnya yang terasa menyiksa.

Seorang Ulama besar Turki, Said Nursi, menasihatkan kita semua yang tengah dilanda penyakit untuk melihat kepada oarng-orang yang jauh lebih menderita daripada kita agar kita bia bersabar, bahkan mensyukuri kondisi kita. “Apabila engkau terluka, lihatlah kepada tangan-tangan yang terputus. Apabila engkau kehilangan satu mata, lihatlah kepada orang-orang yang kehilangan kedua matanya sehingga engkau bisa bersyukur kepada Allah.”

Konon Sa’di Shirazi, pujangga besar sufi terkemuka dari tanah Persia, pernah mencair emosinya karena kehilangan sandalnya di masjid Damaskus, saat ia melihat seorang penceramah yang tersenyum dengan kedua kakinya yang buntung. Dia sedih hanya disebabkan kehilangan sendal, padahal disini ada orang masih bisa tertawa ria kendati sudah kehilangan kedua kakinya. Itulah situasi ketika seseorang menemukan makna hidupnya.

Lalu yang ketiga, tanpa kita sadari, menjenguk orang yang sakit menjadi ajang silaturahmi. Ada teman atau saudara yang sudah lama tidak saling berjumpa, baik karena jauh jarak tingalnya, karena kesibukannya, atau karena hal lainnya, nah di tempat teman atau kerabat yang sakit jadi saling bertemu tuh. Karena saling bertemu bisa saja ada kejadian-kejadian surprise yang terjadi, seperti yang saya dengar dalam percaakapan diantaranya,”Eh kamu masih di PH ga? Kalau masih, kebetulan kantor saya lagi pingin bikin beberapa seri video korporat nih.”

Ingat dong akan pesan Nabi SAW kalau silaturahmi itu bisa memanjangkan umur dan rezeki.

Yang ke empat, menjenguk yang sakit, bisa menimbulkan rasa empati, yang bermuara kepada solidaritas atau rasa gotong royong. Kalau yang sakit, berat sekali pun, asal dia mampu apalagi di cover oleh asuransi, itu mah mungkin tidak jadi masalah secara finansial, paling capek saja bagi keluarganya yang harus menunggui. Tetapi bagaimana kalau yang sakit, berat, dengan operasi besar lagi, sedangkan secara finansial kurang mampu, ditambah tidak ada asuransi lagi. Kan bagi keluarga rasanya bagai mau “kiamat.”

Maka disinilah timbul rasa empati, gotong royong, saling bantu membantu mengurangi “beban” yang sakit dan keluarganya. Coba bayangkan kalau kita yang mengalami.

Sekitar sembilan ratus tahun yang lalu dalam karya monumentalnya, Layla Majnun, pujangga Islam terkemuka Syaikh Nizami pernah menulis:”Orang yang tidak pernah dihimpit kesedihan, ia tidak akan dapat memahami hati yang sedang merana.” Pernyataan Nizami di atas menyingkap sebuah rahasia kehidupan manusia bahwa kebanyakan kita menjadi peduli dengan kenestapaan orang lain sewaktu kita merasakan penderitaan yang sama.

Penderitaan yang kita rasakan akan menimbulkan empati sosial. Dengan sakit biasanya rasa kemanusiaan kita menjadi peka. Kita menjadi sangat peduli kepada orang lain yang menderita, yang tidak kita rasakan sewaktu kita hidup senang, mewah dan sehat.

Yang kelima, saling mendoakan. Bagi kita yang sehat apabila mendoakan kesembuhan dan kebaaikan bagi yang sakit, sesungguhnya kebaikan dari doa itu akan kembali kepada kita. Dan kita yang sehat juga, ini yang kebanyakan dari kita tidak mengetahui, minta didoakan oleh yang sakit. Sabda Rasulullah SAW,”Mintalah doa kepada yang sakit sebab doanya mustajab.” (HR Ibnu Majah)

Pertanyaannya, mengapa doa orang –orang yang sakit menjadi mustajab? Jelas hal itu merupakan karunia istimewa sebagai wujud kasih sayang Allah kepada orang-orang yang sakit. Namun setidaknya saat sakit umumnya kita benar-benar merasakan kefakiran, kelemahan, kehinaan, ketidakberdayaan dan kebutuhan kita kepada Allah. Dalam kondisi yang sangat membutuhkan tersebut doa-doa yang kita panjatkan menjadi terkabul.

Oleh karena itu, kalau kita sedang sakit atau diuji dengan berbagai cobaan lainnya, jangan lantas lupa ibadah (Shalat). Pergunakan sat-saat yang mulia itu makin menjadikan kita soleh dan memanjatkan doa. Percayalah, doa-doa yang kita panjatkan pasti didengar, diperhatikan, dan dikabulkan oleh-Nya yang Maha Mendengar doa orang-orang yang merana. Dan seandainya doa-doa kita belum dikabulkan saat ini, percayalah Dia telah menyimpan pahala yang sangat agung demi kebaikan dan kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Bukankah lebih baik kita menangis sejenak hari ini namun akan tersenyum selamanya di akhirat nanti, ketimbang kita tersenyum bangga hari ini namun akan menangis abadi di akhirat kelak.

Akhirnya saya menelepon sahabat saya yang penyiar tadi,”Mba’ Ola, besok senin sore tema kajian (di Radio Bahana 101,8 FM) saya tentang ‘Hikmah di balik Sakit’ ya, Insya Allah saya siap.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar