Minggu, 15 Maret 2009

TSUNAMI ABORSI; MARI KITA JAGA ANAK KITA DARINYA

Beberapa minggu belakangan ini kita digelontorkan liputan bersambung-sambung mengenai terbongkarnya praktek aborsi, dari yang ada di kawasan Tanjung Priok dan hingga yang ada di Percetakan Negara. Terbongkarnya praktek aborsi yang sudah dijalankan selama bertahun-tahun, dengan leluasanya, hanyalah seperti fenomena gunung es. Yang tampak kepermukaan hanyalah terlihat kecil, sedangkan realitas sesungguhnya amatlah besar. Maksudnya, praktek aborsi yang terjadi pada kenyataannya mungkin jumlahnya, puluhan malah bisa jadi ratusan?

Yang menarik perhatian saya, adalah ketika sebuah stasiun TV Swasta menayangkan sebuah wawancara dengan seorang remaja putri pelaku aborsi. Ketika ditanya oleh sang reporter,”...sudah berapa kali melakukan aborsi?” Dengan ringannya si remaja putri menjawab,”...sudah tiga kali.” Masya Allah, saya mengernyitkan dahi, sambil mengelengkan kepala mendengar itu. “Kenapa kamu melakukan aborsi?”Si reporter melanjutkan tanyanya. “Takut membuat malu orang tua. Ayah saya adalah seorang tokoh masyarakat terkenal.”jawab si remaja putri. Kemudian si reporter melanjutkan pertanyaannya,”...boleh tahu tidak, pada umur berapa kamu pertama kali aborsi?””...pada umur enam belas tahun.”jawab si remaja putri menjawab juga dengan nada ringan.”

Serasa disambar petir hati saya, bergemuruh kencang. Bagaimana tidak? Ada anak usia berumur enam belas tahun sudah melakukan aborsi. Itu baru dari hasil berhubungan yang jadi janin. Yang tidak jadi? Jangan ditanya. Si remaja tadi sudah melakukan aborsi tiga kali. Kalau saja dia tiap tahunnya aborsi, kan berarti usianya delapan belas tahun. Secara lurus saja kita bisa menyimpulkan, selama tiga tahun itu berapa kali dia sudah berhubungan? Saya tidak sanggup lagi melanjutkan pertanyaan-pertanyaan itu dengan jawabannya.

Kasus remaja putri tadi boleh jadi satu dari sekian ribu kasus serupa yang terjadi di negara kita, terjadi setiap hari sepanjang tahun. Dan setiap tahun bukannya menurun tetapi mungkin saja semakin meningkat.
Yang menjadi fokus perhatian saya adalah letak atau dimana posisi orang tua dalam mendidik, dalam membina anak-anak, sehingga anak terperosok kedalam lembah pergaulan bebas, jeratan narkoba dsb.

Gerbang bagi anak untuk tersesat ke dalam pergaulan bebas memang banyak jalannya. Mulai dari kedua orang tua yang sibuk sehingga kurang sekali waktu yang disediakan untuk anak-anaknya, sehingga anak kemudian mencari sendiri lingkungan yang dianggapnya bisa menyenangkan hatinya. Lalu keluarga yang “broken home”, yang mana sudah banyak kita saksikan korbannya adalah anak yang tidak terurus secara fisik mau pun perkembangan mentalitasnya. Dan ini bukan hanya terjadi di sinetron. Yang lainnya, ini hanya satu faktor dari sekian banyak faktor, adalah pengaruh dari serbuan budaya konsumerisme. Keinginan untuk memperoleh apa-apa yang diiklankan oleh media massa cetak dan elektronik, diperoleh dengan mengerahkan berbagai cara, yang penting dapat, tak perduli apakah cara itu halal atau tidak, dengan cara benar atau tidak.

Cara bagaimana seseorang mendidik anak, dari keadaan anak yang berkelakuan luar biasa nakalnya, berubah seratus delapan puluh derajat menjadi anak yang soleh, mari kita belajar dari kisah yang dituturkan oleh seorang kenalan saya.

Sebutlah seseorang itu Pak Syamsul, memiliki lima orang anak, salah satunya perempuan, anak kedua, yang bernama Dewi. Dewi ini ketika itu masih bersekolah di SMP di bilangan Depok. Dewi masuk kategori luar biasa, bukan dari prestasi sekolahnya, tetapi dari sisi kelakuannya yang minta ampun nakalnya, melebihi nakalnya anak laki-laki. Salah satu bentuk betapa nakalnya adalah ketika ia minta dibelikan pulsa untuk HP nya kepada salah seorang temannya, temannya itu tidak mau membelikan, maka temannya yang laki-laki itu ditampar. Anak perempuan menampar anak laki-laki dan anak laki-laki itu tidak berani melawan, bisa kita bayangkan betapa seperti apa ya sosok Dewi itu.

Itu masih ditambah dengan suka malak teman, baik perempuan mau pun laki-laki. Benar-benar seperti preman anak ini, begitu yang dikatakan pak Syamsul kepada saya. Anaknya memang dari kecil pemberani, bawaannya nakal. Walau pun demikian orang tua Dewi alias Pak Syamsul dan istri bukanlah orang tua yang broken home. Keluarga normal saja, dimana Pak Syamsul sendiri adalah seorang pegawai sebuah Bank Swasta di Jakarta. Dewi ini merupakan anak yang berbeda sama sekali dari lima bersaudara tadi.

Teguran dan panggilan dari sekolah kepada orang tuanya sudah berkali-kali. Tetapi Dewi tidak pernah memberikan surat panggilan itu kepada orang tuanya, melainkan kepada pamannya. Alasannya orang tuanya sedang dinas di lain kota, dan disini Dewi tinggal bersama pamannya. Sementara itu, di lingkungan tempat tinggalnya Dewi bergaul dengan anak-anak bergaya punk. Anak-anak yang berpenampilan rambut warna-warni, rambut jabrik kaku, berkalung rantai, berpakaian ala metal m dsb. Yang membuat orang yang melihat jadi nyeremin (menyeramkan). Tapi anehnya Dewi berpenampilan normal, tidak bergaya punk. Tetangganya juga jadi merasa gerah melihat banyak anak-anak punk yang suka hadir di lingkungan mereka.

Orang tuanya Dewi, Pak Syamsul dan istri sudah merasa kewalahan, juga malu kepada para tetangga akan ulah dan tindak-tanduk anak perempuannya ini. Sudah pegal rasanya memberi nasehat macam-macam buat anaknya ini. Tetapi, masih ada bagusnya nih Dewi ini. Ia tidak jatuh kedalam pergaulan bebas dan narkoba. Hanya nakal secara fisik saja. Hingga ketika ujian SMP selesai, beruntung Dewi masih juga bisa lulus dengan upaya setengah mati.

Disinilah Pak Syamsul dan istri mengambil suatu keputusan, dimana keputusan tersebut kelak yang bisa mengubah sifat, perilaku dan penampilan Dewi seratus delapan puluh derajat. Pak Syamsul mendaftarkan Dewi untuk melanjutkan sekolah menengahnya kesebuah pesantren di Jawa Timur. Tentu dengan harapan agar dengan suasana dan model pendidikan Pesantren yang agamis mampu merubah segala yang buruk dari anak perempuannya.

Ketika liburan Idul Fitri, Dewi pulang ke rumah orang tuanya di Depok. Subhanallah, Pak Syamsul dan istri mendapati anak perempuannya telah berubah total seratus delapan puluh derajat. Hanya dalam hitungan bulan, anak perempuannya yang sebelumnya berlaku seperti preman, sekarang dengan penampilan berjilbab, shalat tak pernah ditinggalkan, perilaku dan tutur kata kepada orang tua jadi sopan. Yang lebih mencengangkan ketika teman-teman punknya datang ke rumah untuk bersilaturahmi dalam rangka Lebaran, Dewi malas menemui. Baru setelah ibunya mendesak untuk menemui untuk silaturahmi, baru Dewi mau keluar menemui teman-temannya, dan itu pun cepat-cepat disuruhnya teman-temannya tadi untuk pulang.

Teman-teman dan sahabat, kita sudah melihat suatu bukti bahwa orang tua itu memiliki peran yang sangat besar dan menentukan bagi perkembangan anak-anaknya. Bukankah Rasulullah SAW sudah mendeskripsikan bahwa anak itu terlahir fitrah, suci, bersih, orang tuanyalah yang kelak menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi. Orang tua berperan besar sekali untuk menentukan hitam putihnya anak. Terutama mengenai pendidikan akhlaknya dan jodohnya kelak. Jangan sampai anak salah memilih jodohnya, kemudian dia dimurtadkan, maka kita sebagai orang tua akan menyesal tidak berkesudahan dan bersiap-siaplah menerima azab nan pedih di akhirat kelak dari Allah SWT karena telah lalai dari pesan Allah,”Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka.”

Bagaimana upaya-upaya kita mendidik anak, sesungguhnya telah jelas panduan dan tuntunan seperti yang dijelaskan dalam Al-Qur’an pada surat Luqman:13-19. Pertama, ajari anak kita Tauhid, tanamkan kepadanya bahwa Allah lah Tuhan kita, jangan mempersekutukan Allah. Kedua, ajari anak kita untuk hormat dan berbakti kepada orang tua khususnya kepada ibu yang telah mengandungnya dengan berpayah-payah dan menyusuinya. Ketiga, kita tanamkan nilai moral dan akhlak yang berlandaskan kepada ajaran agama. Yang keempat, ajari anak kita untuk menegakkan shalat sebagai tiang agama. Demikian juga dengan ibadah lainnya. Mungkin kita sebagai orang tua apabila bertemu dengan anak maka seringkali yang ditanya,”Nak sudah makan belum?” Apakah kita juga bertanya kepadanya,”Nak sudah shalat belum?”

Yang kelima, kita didik anak kita untuk rendah hati, jangan berlaku sombong, dan banyak-banyak berbuat kebaikan kepada sesama manusia dan menjadi manfaat bagi kehidupan ini.

Mudah-mudahan kita bisa mendidik, membina anak-anak kita menjadi anak yang soleh, penyejuk hati (qurrota a’yun), dan menghindarkan mereka dari keterjerumusan kedalam pergaulan bebas yang nista serta budak narkoba. Amin, amin ya Robbal ‘alamin.

Bahan siaran inspirasi spiritual “The Power of Peace” di Radio Bahana 101.8 FM tgl. 16 Maret 2009

Danu Kuswara (Kang Danu)
Muhajirin Learning Center
(Dakwah, training, publishing & consultancy)
Perkantoran Yayasan Wakaf Al-Muhajirin
Komplek Billy Moon Pd. Kelapa Kalimalang, Jakarta 13450
021 8649806 – 021 27953797 - 08129116242

Tidak ada komentar:

Posting Komentar