Minggu, 22 Maret 2009

YANG INGIN MELEPASKAN DIRI DARI ORANG TUA

Minggu lalu seseorang menelepon saya berinteraktif dengan maksud untuk meminta pendapat saya. “Kang...,seingat saya orang tua saya tidak mengurus saya, dari kecil hingga saya dewasa, saya merasa mereka tidak pernah mengurus saya. Saya ingin cepat-cepat menikah saja biar cepat lepas dan bebas dari mereka. Bagaimana pendapatnya Kang?” “Mba’, menikah dan mengurus atau berbuat baik kepada orang tua itu dua hal yang berbeda. Menikah adalah sebuah sunnah Rasulullah. Menikah merupakan sebuah keputusan penting dalam hidup seseorang yang hendaknya diambil bukan karena sebuah keadaan yang mendesak, untuk menghindari dari sesuatu keadaan, melainkan sebuah komitmen penting dan serius, tidak main-main. Sedangkan berbuat baik kepada orang tua adalah langsung perintah Tuhan yang bila tidak kita kerjakan akan menjadikan kita sebagai seorang yang amat berdosa.” Jawab saya.

Saya menyambung lagi,”walau pun seluruh materi yang kita kumpulkan seumur hidup kita, lalu kita berikan kepada orang tua kita, tidak akan pernah terbalas jasa baik mereka kepada kita. Mereka, terutama Ibu kita, telah berpayah-payah mengandung dan melahirkan kita, dan kemudian menyusui. Berbuat baik saja semampu dan sekuat Anda, walau pun Anda merasa orang tua Anda tidak pernah mengurus Anda, karena sesungguhnya pahala kebaikan itu akan kembali kepada Anda.”

Malamnya, ketika sudah sampai di rumah seraya menyandarkan kepala ke kursi, saya mengingat-ingat sebuah hadits Rasulullah SAW. Salah seorang sahabat datang dan berkata,”Wahai Nabi, sungguh ibuku telah pikun lantaran tua. Akulah yang beri makan minum dengan tanganku. Aku pun mewudhuinya, mengangkatnya di atas bahuku. Sudahkah aku bayar semua jasa-jasanya untuk yang demikian itu?” “Belum,”jawab Rasulullah,”Sedikit pun belum. Bahkan satu persen sekali pun. Namun engkau telah berlaku baik. Allah akan memberimu pahala yang banyak atas amalmu yang sedikit itu.”

Dalam sekali penilaian Rasulullah perihal besarnya jasa orang tua khususnya seorang ibu. Dan betapa besar pula pahala berbakti kepadanya. Seorang ibu dengan sungguh-sungguh telah berkorban demi kita, anaknya. Sebagai manusia kita sudah semestinya memahami semua pengorbanannya itu. Rasulullah SAW memberikan perbandingan untuk menunjukkan seberapa besar jasa orang tua khususnya ibu. Ketika ada seorang sahabat yang merasa telah melakukan pekerjaan yang sangat besar jasanya kepada ibunya, Rasulullah menyatakan itu semua belum cukup. Kita bisa membayangkan betapa berbaktinya seorang anak yang memelihara ibunya pada masa tuanya.

Ia memberikan makan dan minum, menggendongnya kesana kemari untuk berbagai keperluan termasuk shalat dan thawaf. Apakah ada di zaman sekarang anak yang berbuat demikian kepada ibunya. Maaf, paling banter seseorang akan menyuruh atau membayar orang lain untuk mengasuh bapak atau ibunya. Untuk keperluan sehari-harinya ia menyediakan seorang perawat atau suster untuk mengurusnya. Jika bapak ibunya ingin melakukan thawaf ia cukup membayar tenaga bayaran untuk melaksanakannya.

Apabila kita renungkan secara mendalam, yang langsung anaknya sendiri merawat ibunya saja belum cukup untuk membalaskan jasanya. Apalagi yang cuma membayar orang. Tetapi walau pun demikian, Rasulullah memberikan motivasi, bahwa apa-apa yang telah dilakukan seorang anak dalam berbakti kepada orang tuanya, terutama kepada ibunya akan diberi ganjaran oleh Allah SWT dengan pahala yang besar. Meskipun dibanding jasa ibu, perbuatan anak tersebut belum ada apa-apanya, namun pahalanya besar.

Apabila pahala seorang anak yang berbakti kepada orang tua, meski pun sedikit, sudah mendapatkan pahala sedemikian besar, apalagi dengan pahala untuk seorang ibu yang jasanya jauh lebih besar. Seorang ibu yang ikhlas mengandung, melahirkan, memelihara dan membesarkan anaknya akan mendapatkan pahala yang jauh lebih besar dari pahala bakti seorang anak. Begitu besar jasa seorang ibu, begitu besar pula pahala seseorang anak yang berbakti kepadanya.

Mengenai bagaimana sikap anak berbakti kepada oarang tuanya, mari kita belajar dari kisah seperti yang dituturkan oleh teman saya, sebutlah namanya Azizah. Azizah menceritakan tentang seorang sahabatnya yang bernama Fitri yang baru saja menelponnya. Fitri bercerita kalau sekarang ibunya seringkali berkunjung ke rumahnya dengan berbagai alasan. Kangen kepada cucu lah, minta bantuan biaya untuk kuliah adiknya lah, sampai ingin mengganti kacamata baru pun pasti selalu meminta bantuannya.

Menurutnya sih wajar-wajar saja, karena Fitri adalah anak perempuan paling besar dan termasuk yang paling mapan di antara saudara-saudaranya. Sedangkan ayahnya hanya seorang pensiunan pegawai negeri biasa di kota Bandung, yang tidak mencukupi kebutuhan anak-anaknya yang masih usia sekolah. Tapi menurut Fitri, ibunya sudah cukup sering “mengganggu” keharmonisan keluarganya. Karenanya, dia merasa sungkan dengan suami dan keluarganya. Masalahnya, Fitri tidak mempunyai penghasilan sendiri.

Setelah merenungi curhat temanku itu, kata Azizah, aku pun jadi malu sendiri. Sekarang aku diamanahi kakak-kakak ku untuk merawat ibu yang sudah tua (75 tahun). Secara fisik beliau kuat, tapi sudah pikun atau menurut bahasa sekarang namanya demensia. Azizah berumah tangga sudah hampir sepuluh tahun, ibunya jarang sekali mengunjunginya apalagi merepotkannya. Azizah tinggal di Bogor dan ibunya di Bandung, dan ia anak bungsu, yang masih belum dipercaya untuk merawat orang tua. Tapi karena pengasuh yang biasa menemani ibunya di Bandung minta berhenti, sedangkan semua kakaknya bekerja, akhirnya mereka mau tidak mau menitipkan ibunya tinggal bersama Azizah.

Azizah masih ingat di saat ibunya secara fisik masih sehat, ibunya menjadi rebutan kakak-kakaknya untuk merawat anak-anaknya yang masih balita, memasakkan makanan kesukaan mereka, dan mengajari para menantunya menata rumah. Selain itu, ibunya juga diminta menjaga rumah mereka ketika para pembantunya pulang. Sampai-sampai Azizah yang ketika itu masih kuliah terpaksa tinggal di kos-kosan teman pengajian karena di rumah sepi, ditinggal ibu terus.

Tapi sekarang, ketika ibunya yang sudah kembali seperti anak kecil, sebagian besar kakaknya keberatan untuk tinggal bersama ibu. Padahal, para menantu perempuan ibunya yang dulu keteika mereka kuliah dan bekerja, ibulah yang merawat anak-anak mereka dari mulai mereka bayi sampai bersekolah di sekolah dasar.

Walau pun dalam kondisi pikun, ibunya Azizah masih tetap ingat nama anak menantunya, masih shalat walau pun rakaat dan waktunya suka salah-salah. Mengajinya masih lancar, masih menjaga kebersihan badannya. Hanya kalau diajak mengobrol, yang dia ingat hanya masa-masa bahagia dengan almarhum Bapak di perkebunan teh dan kelapa sawit. Ibunya pun senang menyapa setiap orang yang ditemuinya karena memang ibunya ramah dan banyak teman, sehingga mungkin merasa dia mengenal orang tersebut.

Awalnya Azizah merasa risih dan malu kalau mengajak ibunya bepergian. Namun suaminya selalu mengingatkan, kenapa harus malu, toh ibunya masih menutup auratnya dengan rapi, masih sopan ktika berbicara dengan orang, masih bisa shalat dan mengaji, dan banyak hal-hal positif lainnya yang masih mampu dilakukan meski pun ibunya sudah pikun. Kata suaminya, biarkan saja orang yang mentertawakan atau meremehkan ibunya. Mereka tidak pernah bisa menebak apa yang akan terjadi dengan orang tua mereka atau bahkan mereka sendiri ketika tua akan seperti apa, tidak ada yang bisa menjaminnya. Hanya Allah SWT yang tahu apa yang akan terjadi dengan kondisi kita ketika kita sudah tua nanti.

Bila kita jujur, memang terasa cukup berat untuk merawat orang tua yang sudah pikun. Butuh kesabaran ekstra dan kerjasama yang kompak antar keluarga. Bagaimana pun, dengan kehadiran orang tua di tengah-tengah keluarga inti akan sangat mempengaruhi keharmonisan hubungan suami istri maupun antar orang tua dan anak. Yang biasanya perhatian kita hanya tertuju kepada pasangan dan anak-anak, kini harus berbagi untuk memberikan perhatian ekstra pada orang tua kita.

Belum lagi “perilaku”nya yang seperti anak-anak, misalnya jika ingin sesuatu harus segera dituruti, jika diberitahu cepat marah dan tersinggung. Mungkin ketika kecil dulu kita pun seperti itu. Tapi Subhanallah, ibu kita tidak pernah mengeluhkan semua kerepotannya, sedangkan kita akan merasa jengkel dan kesal jika orang tua kita melakukan hal-hal yang mengganggu kerapihan dan kebiasaan-kebiasaan di rumah kita.

Pada akhirnya, kita memang harus mentafakuri kembali ayat-ayat Al-Qur’an tentang perilaku kita kepada orang tua kita, terutama ibu yang sudah bersusah payah mengandung, melahirkan, menyusui, dan mebesarkan kita dengan penuh kasih sayang dan keikhlasan. Sebagai bahan perenungan, coba kita lihat kembali kandungan Al-Qur’an surat Luqman (31) : 14,”Dan kami perintahkan kepada manusia untuk berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya telah menngandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu.”

Danu Kuswara
Muhajirin Learning Center (Dakwah, publishing, training & consultancy)
Perkantoran Yayasan Wakaf Al-Muhajirin
Komplek Billy Moon Pd. Kelapa Kalimalang, Jakarta 13450
021 8649806 – 021 27953797 - 08129116242

Tidak ada komentar:

Posting Komentar